LMBYRW 9

374 25 3
                                    

Pak Syarif belum memperbolehkanku pulang. Dengan kerlingan genitnya ia membujukku agar makan malam bersama keluarganya terlebih dulu. Aku risih sekali, tapi mendengar kata makan tentu saja aku tidak bisa menolak. Teringat kembali olehku rasa makanan di restoran pak Han-tempatku bertemu dengannya pertama kali-yang terus dirindukan lidah kulinerku sejak saat itu. Restorannya saja mampu menyajikan menu dengan cita rasa menggoda yang tak main-main, sajian makanan di rumahnya tentulah tak jauh berbeda. Yang paling penting adalah 'gratis'. Kenikmatan hidangan makan malam akan naik berkali-kali lipat jika diselipkan kata 'gratis'. Hehe, siapa yang tidak suka gratisan?

Tapi, posisi kursi makan pak Han yang berada tepat di hadapanku membuat kenyamananku terganggu. Aku tidak bisa berhenti mengawasinya. Sikap rancunya sebagai ganti dari jawaban terhadap pertanyaanku di kolam renang tadi membuatku terus kepikiran. Dia tidak mengiyakan, namun juga tidak membantah. Mengangkat bahu biasanya memiliki makna 'terserah' atau 'tidak tahu', begitu menurut sepengetahuanku. Dan itu bukan jawaban yang kuinginkan. Aku butuh kejelasan berupa jawaban singkat 'ya' atau 'tidak', bukannya isyarat yang mengandung banyak arti.

Nanti, kalau aku mendapat kesempatan diantar pulang olehnya, aku harus mengulang pertanyaan itu padanya. Ini semua demi kebaikan dan kemaslahatan masa depanku. Meskipun bukan mantan psikolog atau guru BK, aku cukup cakap membaca kejujuran seseorang lewat tatapan mata. Tiga puluh satu tahun menjalani hidup dan hampir sepuluh tahun bekerja dengan orang lain membuatku belajar tentang banyak hal, termasuk belajar membaca kejujuran. Eh, tapi tidak juga sih, sebenarnya aku lebih banyak makan dan melamun daripada belajar.

"Cah Ayu, kenapa kamu terus-terusan memandangi Putro? Apa kamu sudah mulai terpikat sama cucu saya?" Pak Syarif bertanya menggoda. Seketika konsentrasiku buyar karenanya.

Aku hampir tersedak gumpalan bakso karena buru-buru ingin membantah. Beautiful di sebelahku langsung bergerak menyodorkan segelas air. Tapi ia menyempatkan diri meneguk air minum itu sebelum benar-benar memberikannya padaku. Lupakan. Aku menolaknya mentah-mentah. Mendadak lupa kalau kerongkonganku sakit menahan batuk.

Aku menggeleng pada pak Syarif setelah itu. Kuharap kakek stylish itu tahu maksud gelenganku berarti 'tidak'. Dia pikir semudah itu bagiku untuk jatuh cinta? Seandainya pak Syarif tahu bagaimana perjuangan Budi Pengkhianat sebelum aku menerima pernyataan cintanya.... Dan Budi Pengkhianat adalah pria yang romantis, bukan seorang tukang paksa sekaligus maniak games seperti pak Han. Budi Pengkhianat yang selalu mencurahkan perhatiannya padaku saja tidak mudah membuatku jatuh cinta, apalagi pak Han yang di dalam darahnya mengalir bakat pemancing kekesalan manusia.

Kenapa bawa-bawa Budi Pengkhianat lagi?!

Hentikan, hati kecil. Aku yakin kalau aku sudah tidak punya rasa apa-apa pada buaya berwujud manusia itu. Aku sudah move on sejak lama. Ya, benar. Aku bukan wanita lemah yang mudah goyah oleh masa lalu.

Aku mulai mengunyah dengan semangat sebagai wujud apresiasi terhadap kemampuanku menebas kenangan tentang mantan. Hatiku tertawa puas. Otakku juga ikut bekerja keras. Sel-sel dalam ruang ingatanku sibuk membakar gambaran dan bayangan Budi dengan bahagia. Enyah kau dari kepalaku, pengkhianat!

"Cah Ayu, setelah ini kamu ikut ke ruangan saya, ya?"

Aku mendongak mendengar permintaan bernada perintah dari pak Syarif. Kali ini tidak disusul efek yang membuatku ingin tersedak.

Pak Syarif menghentikan aktivitas makan malamnya untuk menatapku. Aku yang menyadarinya langsung membalas tatapan pak Syarif dengan hati-hati. Dari posisi dudukku, aku bisa melihat keseriusan di matanya. Untuk pertama kalinya, pak Syarif menampilkan tatapan selain tatapan genit. Haruskah aku terkejut?

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang