LMBYRW 2

1.9K 85 7
                                    

Beginilah akhirnya, ibu dengan senang hati menyambut tawaran pak Syarif. Aku bahkan tidak sadar dengan kepulangan pak Syarif kemarin karena masih kepikiran dengan cucunya. Jika seperti ini, apa gunanya aku menikah? Dia kan tidak selera dengan perempuan, bahkan kurasa dia tidak tahu caranya 'menyentuh' perempuan.

Secara sepihak pak Syarif mengatur pertemuanku dengan pak Han. Seenaknya dia menyuruhku datang ke salah satu restoran cucunya itu tadi malam via video call. Aku sempat kaget tentang bagaimana dia tahu nomorku. Tapi kemudian aku teringat ibu. Siapa lagi yang ikut terlibat dalam hal ini selain ibu?

Walaupun setengah hati, akhirnya aku datang ke salah satu restoran pak Han yang lokasinya lumayan dekat dengan rumahku dan bisa dilalui dengan lima menit jalan kaki. Agak miris memang, jalan kaki sendirian untuk menemui seseorang di restoran mewahnya. Bukankah seharusnya aku dijemput?! Tidak bermodal sekali. Padahal aku tahu kalau keluarga pak Syarif itu kaya memang pada dasarnya kaya. Pak Han saja-dulu gosipnya-pergi ke kantor diantar supir pribadi dengan mobil yang berbeda setiap hari. Entah itu mobil sewaan, pinjaman, atau dia memang hobi mengoleksi mobil.

"Bu Reina?" tanya seorang waitress ketika aku sampai. Aku dibuat terkesima karena dia tahu siapa aku ini. Tapi keherananku pudar digantikan kekesalan. Waitress ini barusan memanggilku 'bu'. Aku kan belum menikah, belum pantas dipanggil 'bu'. Dasar manusia. Di mana-mana sama saja, senangnya menjudge orang dari penampilan.

"Iya," jawabku sekadarnya.

"Mari, Bu, saya antarkan ke meja di mana pak Han sudah menunggu." Waitress itu lalu menuntunku menuju sebuah ruang VIP restoran ini. Sebenarnya aku masih kesal, tapi daripada menuruti hati, lebih baik aku menuruti logika untuk hal ini.

Aku mendadak grogi. Pak Han itu dulu adalah bosku. Aku jadi bingung bagaimana harus bersikap nantinya. Apa yang harus kukatakan? Pekerjaanku yang sekarang tidak menuntutku untuk terlalu banyak bicara, alhasil aku tidak lincah berbicara lagi seperti saat masih menjadi seorang penyiar radio.

"Silakan, Bu." Waitress itu membukakan sebuah pintu kaca untukku. Aku sedikit lama termenung sebelum akhirnya masuk. Waitress itu kemudian pergi diiringi tatapan memelas dariku. Tidak. Aku tidak siap. Panggil saja aku 'ibu' sesukamu, tapi jangan tinggalkan aku....

"Silakan duduk." Terdengar suara berat dari arah belakangku. Suaranya bernada menakutkan bagiku.

Perlahan kubalikkan badan. Dan di sanalah, di sebuah kursi mewah berlebihan berukuran singgasana raja, duduk seorang pria, berwajah campuran, tidak seperti kakeknya yang sangat kental gurat jawanya. Ia menatapku bosan. Mungkin karena dia orang sibuk dan tidak biasa menunggu. Banyak hal yang harus dilakukannya selain bertemu denganku.

Aku segera mengambil tempat di hadapannya. Karena takut bertatap muka, aku mengalihkan pandanganku pada meja yang telah terhidang berbagai macam makanan. Padahal aku belum memesan makanan. Tidak adil sekali kalau makanan ini sudah dingin atau tidak sesuai seleraku.

Tiba-tiba pak Han mengulurkan tangannya. Karena kaget, aku hanya manganga.

"Handoko Legi Syaputro," ucapnya tegas.

Sesaat kemudian aku meresponnya, menjabat tangannya, walau sedikit gemetaran.

"Re...Re...ina...Syakira."

Setelah saling melepas jabatan tangan, tanpa sungkan pak Han mengelap tangan yang tadi dia gunakan untuk menjabat tanganku pada serbet yang ada di meja.

Kurang ajar.

Tidakkah dia merasa bahwa aku tersinggung?

Sambil memperhatikan tangannya seperti orang yang baru mendapat perawatan, dia bertanya, "Jadi, Reina, kamu mau konsep pernikahan yang bagaimana?"

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang