LMBYRW 7

460 25 3
                                    


"Budi itu mantan saya."

"Oh."

Aku melotot kesal pada pak Han. Aku sudah mati-matian memutuskan apakah harus menjelaskan padanya tentang hubungan masa laluku dengan Budi Penghianat, meraba-raba sendirian dalam pikiranku selama setengah jam perjalanan, dan saat aku berhasil memilih untuk memberitahukannya... jawabannya hanya 'oh'?! Aku meremas rok kerjaku kuat-kuat. Kupikir aku sedang PMS sekarang sehingga emosiku terasa meluap-luap. Terpancing sedikit maka seolah-olah ada bara api muncul di atas kepalaku, membuat pikiranku kacau dan mendidih.

Sesaat kemudian pak Han menepikan mobilnya di depan pintu masuk kantor. Manusia satu ini memang seenak nenek moyangnya saja setiap kali melakukan sesuatu. Dia menepikan mobilnya di depan pintu masuk kantor. Pintu masuk. Jelas-jelas itu berarti dia menghalangi jalur lalu-lalang para karyawan. Aku menutup wajah karena malu dan buru-buru keluar dari mobil.

"Reina, tas kamu hampir ketinggalan." Pak Han menyodorkan tas tanganku tepat di hadapan wajahku saat aku bersiap menutup pintu mobil.

"Terima kasih," ujarku, sambil masih menutup wajah dengan telapak tangan kiriku.

"Reina, tunggu!"

Aku mengintip dari sela-sela jari. Apa lagi yang diinginkannya? Aku tidak sanggup kalau-kalau orang satu kantor memergokiku diantar calon suami tepat di depan pintu masuk. Tidak sepatutnya aku bangga, bukan? Ini memalukan. Lihatlah, betapa spesialnya Reina, dia adalah tuan putri impian, dia dijemput di hadapan mantan pacarnya, lalu diantar sampai di depan pintu masuk kantornya. Aku ingin sekali berteriak pada pak Han untuk segera pergi dan berhenti menahanku hanya untuk melihatnya kebingungan mencari-cari sesuatu.

"Sebentar, sebentar," pintanya lagi.

Pak Han tampak gelisah menepuk-nepuk tepian celananya, jas hitam licinnya, kaus kaki hitamnya, celah-celah jok mobilnya, hingga kolong demi kolong yang ada. "Saya... lupa," gumamnya, "tadi ada di sini. Tapi-"

"Anda lagi mencari apa?" tanyaku heran. Ya, siapa tahu aku bisa membantu dan segera mengusirnya dari pintu masuk kantorku.

"Kotak kecil," sahutnya, masih terus mengecek segala sudut. "Warna merah."

"Sekecil apa?" tanyaku lagi.

"Sekecil... sekecil..." Pak Han menghela napas. "Saya nggak mengukurnya, Reina, mana saya tau perbandingannya."

"Ya kira-kira aja!"

"Ah, sepertinya hilang." Pak Han mengangkat bahu. Menyerah. "Yasudah, nanti saya beli lagi saja."

Tanpa sadar aku bersyukur dalam hati, akhirnya, orang ini pergi juga.

Setelah mobil pak Han menghilang dari pandangan, aku, masih mengintip dari celah-celah jari, memberanikan diri menoleh ke belakang. Dan apa yang kulihat selanjutnya membuatku terjerembab dalam jurang tak kasat mata yang dalam. Gerombolan karyawan yang baru datang pagi itu menatapku dengan tatapan berbinar-binar. Persis seperti tatapan orang tua yang lega sebab anaknya yang baru dua hari resmi menjadi murid sekolah dasar sudah berani masuk kelas sendiri. Bahkan salah seorang dari mereka tampak terang-terangan menyeka air mata kebahagiaan.

"Bravo, bravo!" Suara pak bos memecah keheningan. "Selamat, Reina!"

Dan sedetik kemudian tepuk tangan menyebalkan bergemuruh bersahut-sahutan.

*

Delia bergantian menatapku dan komputer di hadapannya. Sesekali tangannya berhenti mengetik hanya untuk memfokuskan pandangan ke arahku. Cengiran yang tak pernah ingin kulihat terus terpasang di wajahnya. Dan pikiranku terbelah karena Delia yang terus-terusan melakukan itu. Aku mencoba cuek, tidak ingin terpengaruh pada kegilaannya dan karyawan-karyawan lain yang terkena efek pemandangan 'Reina diantar calon suaminya pagi tadi'. Aku berharap ada keajaiban mendadak agar orang-orang ini berhenti bertingkah lebay setiap kali ada hal baru, khususnya menyangkut kehidupan percintaanku. Kalau perlu, kuharap ada pemeriksaan rutin besar-besaran terhadap sikap dewasa para karyawan.

Let Me Be Your Real Wife [Repost, Rewrite]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang