"Letta Khanza Mahendra. "
Gadis berkerudung coklat senada dengan seragam pegawai negeri yang ia kenakan itu menengok ke belakang, tepat saat seorang pemuda berpakaian olahraga sedang tersenyum ke arahnya. "Selamat pagi, Pak Radit." sapanya tersenyum.
"Selamat pagi juga, Bu Letta. Bagaimana kabar anda pagi ini?"
Yang dipanggil Bu Letta itu menghembuskan nafas kasar. "Cukup repot karena ini adalah jadwal saya menjadi guru piket."
Radit mengangkat alisnya. "Kalo begitu, biar saya temani anda untuk berjaga di depan, bu."
Letta tersenyum. "Memang Pak Radit tidak ada jadwal mengajar jam pertama?" Ia berjalan kembali ke arah pintu gerbang sekolahnya, di ikuti Radit.
Radit menggeleng. "Saya hari ini mulai jam ke-3, bu. Jadi saya masih bebas. Nah, kita sudah sampai."
Letta tersenyum ke arah Radit, saat mereka kini sudah berada di depan gerbang sekolah tempat mereka berdua mengajar.
"Selamat pagi, Bu Letta, Pak Radit." sapa murid-murid saat berada di hadapan mereka, lalu mencium punggung tangan mereka berdua secara bergantian.
"Selamat pagi. Langsung masuk kelas ya. Satu menit lagi bel masuk pelajaran pertama." ujar Letta pada murid-murid yang mencium punggung tangannya bergantian dengan Radit. "Ayo, ayo, jalannya dipercepat. Satu menit lagi saya tutup pintu gerbangnya. Tidak ada toleransi untuk siapapun."
Murid-murid yang masih berjapan beberapa meter dari gerbang sekolah pun mempercepat jalan mereka, bahkan ada pula yang berlari agar tidak terlambat sampai.
"Oke. Pukul 7 tepat. Saya akan menutup pintu gerbangnya." kata Radit, setelah ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Pak, Pak, Pak Radit, tunggu dulu, pak." Seorang murid kian mempercepat larinya, saat pintu gerbang hampir tertutup sempurna.
"Ayo cepat!" teriak Letta.
"Bu Letta galak banget deh. Tumben." ujar seorang murid yang mendorong sepeda motornya memasuki gerbang sekolah, setelah mencium punggung tangan Letta.
"Kamu bilang apa, Vin?" tanya Letta, menatap murid laki-laki yang baru saja melewatinya.
Murid itu tersenyum kikuk. "Enggak kok, bu. Bu Letta hari ini cantik banget. Tumben. Karena ada Pak Radit ya, bu?"
Yang namanya di sebut langsung menatap murid itu bingung. "Kamu bilang apa, Vin? Kenapa nyebut nama saya?" Murdi itu hanya tersenyum simpul. Tidak berani menjawab kalimat Radit. "Masuk sana!"
Radit pun menutup pintu gerbang, lalu menguncinya dari luar, dan bergabung dengan Letta yang sudah sejak tadi memberikan instruksi untuk beberapa orang siswa yang datang terlambat.
"Ayo, yang terlambat, cepat berbaris di depan saya." ujar Letta, kemudian membuka buku daftar hadir yang sejak tadi ia bawa, sambil menunggu para siswa yang terlambat untuk berbaris.
"Bu Letta, saya mihon ijin tidak bisa ikut piket hari ini, karena ada jadwal ulangan harian untuk anak-anak." ujar seorang pria paruh baya pada Letta.
Letta tersenyum ke arah pria itu. "Tidak apa-apa, Pak Alif, kalau bapak mau ke kelas duluan. Di sini kan sudah ada saya dan Pak Eko. Jadi, bapak tidak perlu khawatir. Kami bisa meng-handle anak-anak yang terlambat kok."
"Bener, bu?" Yang dipanggil Pak Alif itu terlihat ragu menatap Letta.
Letta mengangguk. "Iya, pak. Insya Allah."
"Iya, Pak Alif." Radit mendekati Letta dan Pak Alif. "Kan ada saya juga, pak. Jadi bapak tidak usah khawatir."
Pak Alif mengangguk, menatap Radit dan Letta bergantian sambil tersenyum. "Terimakasih ya, Pak Radit, Bu Letta." ujarnya, kemudian berlalu meninggalkan pintu gerbang sekolah setelah di bukakan oleh Pak Eko, satpam di sekolah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...