Lyan tersenyum, begitu mendengar jawaban dari Arka yang memaklumi alasannya yang tidak 'balikan' dengan Letta. "Makasih ya, Ka. Udah mau ngerti."
"Ya asal kamu jangan nyakitin Letta aja, Yan."
"Nggak akan. Pegang janjiku."
"Oke lah, Bapak Letnan. Saya harus kembali ke ruang navigasi setelah menghabiskan waktu istirahat saya dengan obrolan tidak penting anda."
Lyan terkekeh mendengar kalimat Arka. "Ya udah. Hati-hati di sana. Jaga diri."
"Siap, laksanakan."
Kemudian, sambungan telepon itu di akhiri dengan satu-dua patah kata penutup.
Lyan kembali menatap layar handphone miliknya. Layar yang masih menampilkan foto yang sama sejak beberapa tahun yang lalu. Fotonya bersama Letta, saat mereka masih menjalin kasih.
"Semoga kamu nggak terluka sama keputusan mas ini, dek."
***
"Akhirnya ya, bu, tugas kita selesai juga." ujar Hesti, saat ia dan Letta baru saja menyelesaikan memasukkan keperluan klinik kesehatan tempat mereka bertugas selama kegiatan sekolah di Kolat Rindam IV/Diponegoro berlangsung.
Letta yang baru saja duduk di kursi, kini meluruskan kakinya. "Duh kalau misalnya selesai acara kita nggak ada yang bantu angkutin barang-barang keperluan klinik, gimana, bu? Masih sanggup naik-turun sambil bawa barang?"
"Saya angkat tangan deh, bu. Enggak sanggup." Hesti kemudian duduk sambil meluruskan kakinya di samping Letta.
Letta terkekeh. "Saya juga, bu."
Drrt.. Drrt..
Letta mengerutkan keningnya, saat merasakan handphone di saku celana bahan yang ia kenakan bergetar.
Mas Lyan
Selamat menikmati kegiatan di Kolat Rindam
Jaga diri, jangan sampe ngelamun dan pikiran kosongAnda
Emang ada apa?
Kenapa nggak boleh ngelamun?Nanti kalo kamu kesurupan, terus dipegang sama orang lain gimana?
Mas kan nggak rela 😞Memangnya anda siapa saya? 😛😛
Ya emang bukan siapa-siapa sih 😢
Letta terkekeh membaca balasan pesan dari Lyan itu. Ia sebenarnya berharap, bahwa Lyan menganggapnya lebih dari sekedar teman atau adik dari sahabatnya. Tapi, toh nyatanya sampai saat ini Lyan belum mengutarakan isi hatinya. Padahal sikap yang Lyan tunjukkan selama beberapa hari setelah mereka berbaikan, sudah mengindikasikan bahwa Lyan masih menyimpan rasa yang sama seperti yang Letta rasakan.
"Bu? Bu Letta?" Letta tergeragap saat sebuah tepukan mendarat di bahunya. Ia kemudian tersenyum kikuk pada Hesti, yang sedang menatapnya bingung.
"Ada apa, bu?" tanya Letta.
"Habis dapet chat langsung senyum tadi. Tapi pas udahan kok jadi murung? Dapet chat dari pacar ya? Pacarnya nggak bisa ke sini?" cecar Hesti.
Letta menunduk, sambil tersenyum. "Bukan pacar kok, bu. Cuma temen biasa."
"Yakin?" Hesti menaikkan alisnya. "Kok saya nangkepnya ada yang berharap statusnya lebih dari sekedar temen biasa ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...