Letta membelalakkan matanya. Merasa tak percaya dengan apa yang ia dengar beberapa saat yang lalu.
"Lho? Yan? Mau kemana?" tanya Arka, memecahkan keheningan di antara mereka, saat ia melihat Lyan beranjak berdiri, sambil menggenggam kunci sepeda motornya yang ia letakkan di meja.
"Aku pamit dulu, Ka. Toh mungkin Letta udah bener-bener kecewa sama aku, dan nggak mau kita nerusin semua ini." jelas Lyan. "Aku pamit dulu ya?"
Lyan kemudian melangkahkan kakinya menuju pintu utama rumah itu. Namun, saat ia sudah berada tepat di depan pintu utama itu, ada tangan yang menggenggam tangan kanannya erat.
"Kalo mas pergi, kenapa aku nggak di ajak? Bukannya mas sendiri yang bilang, kalo mas bakalan ngajak aku kemanapun negara minta mas buat mengabdi? Kok aku ditinggal?"
Letta menatap Lyan yang kini juga sedang menatapnya. Tanpa terasa, airmata kembali mengaliri pipinya.
"Kamu yakin sama keputusan kamu?" tanya Lyan datar.
Letta mengangguk yakin. "Aku nggak pernah seyakin ini, mas."
Lyan melepaskan tangan Letta di lengan kanannya. Ia kemudian menghadap ke arah Letta, dan menghapus airmata yang masih saya mengaliri pipi Letta. "Jangan nangis, dek. Sebisa mungkin, mas nggak akan buat kamu nangis lagi."
Letta justru terkekeh mendengar kalimat Lyan itu. "Nggak mau buat aku nangis, tapi kenapa mas sendiri nangis?" Ia kemudian menghapus airmata yang menetes dari sudut mata Lyan dengan tangan kanannya.
Mereka berdua akhirnya sama-sama tertawa. Menyadari sikap mereka, yang ternyata tidak ingin kehilangan satu sama lain.
Arka berpura-pura terbatuk. "Di sini masih ada orang lho. Kalian nggak lupa, kan?"
Lyan dan Letta kembali tertawa mendengar kalimat Arka itu.
Lyan menatap Arka yang kini berjalan mendekatinya dan Letta. "Ya enggak lah, kakak ipar."
Arka kemudian merangkul keduanya. "Jadi, kapan nih rencana kalian buat nikah? Biar aku bisa izin dulu sama komandan di kapal." tanyanya, sambil menaik-turunkan alisnya, menggoda Lyan dan Letta.
Lyan menatap Letta, yang kini terdapat semburat merah di wajahnya. "Kapan, dek?"
"Aku sih terserah mas aja, maunya kapan." jawab Letta lirih.
"Lebih cepat, lebih baik, Yan." sela Arka, yang melihat Lyan sedang berpikir. "Lagian, bukannya kalo misalnya kalian kelamaan nentuin tanggal, nanti bakalan timbul banyak fitnah? Percuma dong selama ini ngehindari fitnah kalo ujungnya tetep ada fitnah juga menjelang kalian nikah yang belum tentu kapan itu."
Lyan masih tampak berpikir. "Kamu gimana, dek? Udah siap?"
"Aku serahin semua keputusannya sama Mas Lyan sama Kak Arka. Aku ngikut aja gimana baiknya menurut kalian." jawab Letta.
Lyan kemudian menatap Arka. "Kamu ada jadwal libur kapan, Ka, dari komandan?"
Arka terlihat berpikir. "Akhir bulan ini ada jadwal, cuma nggak lama, cuma tiga hari. Dan itupun aku harus nyelesaiin laporan bulanan."
"Kalo jadwal liburnya lagi, kapan?" tanya Lyan, kembali memastikan jadwal Arka.
"Sekitar dua bulan lagi kayaknya ada, selesai aku sail dari New Zealand." jawab Arka. "Emang kenapa?"
"Kan kalo mau nikahin Letta, harus nunggu jadwal kamu libur dulu, Ka." jawab Lyan, yang langsung membuat Arka tersadar akan hal itu. "Emangnya yang mau jadi walinya Letta siapa, kalo bukan kamu?"
Arka dan Letta terkekeh menanggapi kalimat Lyan itu.
"Jadi, jelas ya, dua bulan lagi kalian nikah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...