Letta menghembuskan nafas kasar. Ia kemudian bangkit dari kursinya di laboratorium komputer, menuju koridor lantai 2, tempat laboratorium komputer berada.
Kembali terbersit dalam pikirannya, permintaan dari Lyan beberapa hari yang lalu. Permintaan untuk mendekati Risa, dan menanyakan siapa orang yang tega menghamili Risa.
Letta memijat keningnya, menyandarkan sikunya pada pembatas lantai 2. Merasakan pening kembali melanda kepalanya. Terlalu banyak yang ia pikirkan akhir-akhir ini. Mulai permasalahannya dengan Arka, yang memintanya untuk segera menjauhi Radit. Masalah Risa, sampai pendapat teman-temannya yang memintanya untuk memutuskan Radit, karena mereka menganggap Radit tidak gentle sebagai seorang laki-laki, karena tidak berani menemui Arka dan meminta Letta untuk menjadi kekasihnya secara langsung.
"Pokoknya kita berdua juga sependapat sama Arka. Kita nggak setuju kalo kamu pacaran sama guru itu, titik!" tegas Tania.
Letta mengerutkan keningnya. "Kenapa emangnya?"
"Ya alesan yang logis aja deh, Ta. Dia aja nggak pernah punya inisiatif buat nemuin Arka waktu Arka ada di rumah, terus kenapa kamu masih mau ngejalanin hubungan sama cowok yang nggak gentle kayak gitu?" jelas Riska. "Aku sih, ogah!"
"Ini Dea belum turun tangan lho, Ta, buat ngasih tau kamu. Kalo misalnya dia udah ngasih tau kamu, aku yakin dia juga bakal marah sama kamu kayak marahnya Arka." sambung Tania.
"Intinya, kita sependapat sama Arka. Kamu harus putus sama Radit, secepatnya." tegas Riska.
Letta menghembuskan nafas pelan. Mencoba menetralisir segala macam yang ada di dalam pikirannya. Karena bagaimanapun juga masalah yang ia hadapi, ia harus tetap fokus untuk memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya. Harus, karena ia harus profesional.
"Permisi, bu."
"Ya, Vin? Ada yang bisa ibu bantu?" tanya Letta, sambil menatap Kevin yang berdiri di sisi kanannya.
Kevin terlihat ragu. Ia menatap beberapa murid lain yang sedang berlalu lalang di koridor lantai 1. "Gimana soal permintaan Bang Lyan, bu?"
Letta kembali menghembuskan nafas kasar. "Akan ibu penuhi, tapi nggak sekarang, Vin."
"Kenapa, bu?" Kevin memperhatikan Letta dalam.
"Ibu masih belum ketemu moment yang pas buat nanyain itu ke Risa. Kalaupun bisa ngobrol, kita cuma ngobrol soal nilai akademik dia yang menurun, Vin. Belum ngobrol masalah itu. Secepatnya ibu tetep usahain buat nanyain ke Risa, soalnya ibu juga kasihan sama dia."
"Permisi, Bu Letta."
Letta dan Kevin langsung membalikkan badan mereka, dan mendapati Risa sedang berdiri dan menatap Letta dengan sorot mata sungkan.
"Ya? Ada apa, Risa?" tanya Letta, karena Risa hanya terdiam sesaat setelah mereka saling berhadapan.
"Ehm itu, bu, saya ke sini di suruh Bu Hesti. Karena nilai TIK saya kurang, jadi beliau meminta saya untuk mengikuti pelajaran tambahan bersama ibu." jelas Risa, yang kini kembali menunduk setelah menatap Letta.
"Bu Hesti?" Letta membeo. Ia kemudian menatap Kevin, yang juga sedang menatapnya. "Kamu nanti pulang jam berapa, Ris?" lanjutnya, sambil kembali menatap Risa.
"Nanti saya pulang sekitar jam 3, bu." jawab Risa.
Letta mengangguk pelan sambil tersenyum. "Ya sudah. Nanti setelah jam pelajaran kamu selesai, kamu langsung nemuin ibu di lab ya, Ris?"
Risa mengangguk. "Terimakasih, bu. Saya permisi dulu."
"Lho, nggak ngobrol sama Kevin dulu?" tanya Letta, saat Risa hampir melangkah pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...