Lyan menghembuskan nafas kasar, begitu mendapatkan pesan singkat dari Arka. Tanpa membalas pesan itu, ia kemudian kembali merebahkan tubuhnya di tempat tidur barak.
TOK! TOK! TOK
"Yan! Lyan!"
TOK! TOK! TOK!
Dengan enggan, Lyan bangkit kemudian berjalan malas ke arah pintu. "Apaan sih, Lang? Mau tidur juga! Malah ganggu!" omelnya, setelah pintu terbuka dan mendapati Gilang berdiri di hadapannya.
"Letta, Yan. Letta!" seru Gilang dengan wajah panik.
Lyan langsung mengerutkan keningnya. "Letta kenapa?"
"Pingsan di klinik. Baru aja gue nyusulin Bu Hesti buat meriksa kondisinya. Kamu mending buruan.."
Tanpa menunggu Gilang menyelesaikan kalimatnya Lyan sudah berlari menuju ruang klinik, meninggalkan Gilang yang tersenyum samar menatapnya.
"Semprul!" umpat Gilang.
***
"Dek."
Dengan nafas memburu, Lyan langsung menerobos masuk ruang klinik. Mengabaikan Hesti yang sedang memeriksa kondisi Letta yang memang terbaring di atas brankar.
"Pak Lyan?" Hesti menatap Lyan tidak mengerti. "Bapak kok bisa ada di sini?"
"Gimana kondisi Letta? Kenapa dia bisa pingsan?" berondong Lyan, sambil menatap Letta khawatir.
Hesti melipat kembali alat pengukur tekanan darah, kemudian tersenyum ke arah Lyan. "Cuma kecapekan, pak. Istirahat dan minum vitamin juga nanti sembuh. Bapak kelihatannya khawatir sekali dengan kondisi Bu Letta. Kalo boleh saya tau, bapak ada hubungan apa sama Bu Letta? Soalnya, saya rasa kurang wajar jika hubungan bapak dan Bu Letta hanya sebatas teman."
Lyan menghela nafas. Ia yang kini duduk di atas brankar yang sama dengan Letta, menatap Letta dengan wajah yang susah di artikan. "Dia masa lalu saya, dan dia juga masa depan saya. Selain orangtua saya, dia adalah orang yang menjadi penyemangat saya untuk menjalani hidup. Walaupun sempat beberapa tahun tidak bertemu. Tapi berkat dia, saya bisa mendapatkan satu balok emas, seperti apa yang dia minta, sesaat sebelum kami berpisah beberapa tahun yang lalu."
Hesti mengerutkan keningnya. "Jadi maksud Pak Lyan, karena Bu Letta bapak jadi masuk dunia militer?"
Lyan yang kini menundukkan kepalanya, kini mengangguk pelan. "Karena kalimat dia yang selalu menjadi motivasi saya agar saya bisa menjaga negara ini dengan baik."
"Lalu, hubungan bapak dan Bu Letta sekarang gimana? Bukannya tadi bapak bilang kalau bapak dan Bu Letta sudah beberapa tahun berpisah?"
"Perasaan saya masih sama seperti yang dulu. Saya masih mencintai dia, teramat sangat. Bahkan, saya selalu meminta Kevin untuk mengambil foto Letta setiap hari secara diam-diam, dan mengirimkannya ke nomor saya. Sekedar ingin tau, gimana kondisi dia tanpa saya." Lyan beralih menatap Letta yang belum sadarkan diri.
"Sepertinya, karena alasan itu pula bapak dengan langkah seribu langsung menuju ke ruangan ini, setelah tau bahwa Bu Letta pingsan. Bapak terlalu khawatir terjadi sesuatu dengan Bu Letta."
Lyan menunduk, kemudian mengangguk pelan. "Karena dia segalanya buat saya. Walaupun saya sendiri ragu, apa dia masih menyimpan hal yang sama seperti saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...