Dokter itu menghela nafas, lalu menatap Arka, Vino, Gilang dan Kevin bergantian. "Mohon untuk segera mencari golongan darah AB resus positif, karena pasien membutuhkan golongan darah itu, dan di rumah sakit ini stok sedang kosong. Kami sedang mencoba menghubungi PMI Semarang, tapi belum ada balasan." Dokter itu kembali menatap ke empat oeang yang ada di hadapannya itu bergantian, lalu kembali menjelaskan. "Karena pasien harus segera di berikan transfusi darah, saya mohon segera mencari pendonor, agar ia bisa segera melewati masa kritisnya."
Arka membeku. Begitu pun dengan Vino, Gilang dan Kevin. Mereka seolah tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Bang, biar saya yang donorin darah saya buat Bang Lyan." lirih Kevin, sambil menatap ketiga abdi negara di sekelilingnya takut-takut.
Arka, Vino dan Gilang menatap Kevin seketika. Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
"Kamu serius, Vin?" tanya Arka memastikan ia tak salah dengar.
"Golongan darah kamu AB resus positif?" tanya Gilang.
"Tapi kondisi kamu baik-baik aja, kan? Kamu dalam kondisi sehat, kan, Vin?" sambung Vino.
Kevin tersenyum menatap ketiganya. "Saya dalam kondisi baik-baik aja, bang. Dan saya juga tidak berpenyakit yang bisa menular lewat donor darah, jadi abang-abang tenang aja. Saya akan mendonorkan darah saya untuk Bang Lyan."
Arka langsung berhambur memeluk Kevin. Ia tidak menyangka, jika anak didik Lyan itu begitu baik, hingga begitu memikirkan keselamatan Lyan. "Makasih, Vin. Makasih banget."
***
"Kondisinya masih kritis di ICU, dek. Tadi sempet butuh darah. Tapi ini udah dapet pendonornya kok. Jadi kamu tenang aja. Lyan pasti bisa ngelewatin masa kritisnya." gumam Arka yang sedang menerima telepon.
Arka bersandar di dinding rumah sakit, sambil sesekali menengok ke pintu ruang ICU, tempat seorang perawat yang membawa satu kantong darah menghilang dari pandangannya beberapa menit yang lalu.
"Udah dulu ya? Kakak mau nanya sama perawat, gimana kondisi Lyan sekarang. Kamu baik-baik di rumah."
Arka kemudian memasukkan handphonenya ke dalam saku celana, lalu duduk di samping Gilang. "Sebenernya kejadiannya gimana? Kenapa Lyan bisa masuk jurang? Emang dia tugas dimana?"
Gilang yang sejak tadi menunduk, kini menengok ke arah Arka yang duduk di samping kirinya. "Garis besarnya, dia jatuh tepat setelah dia nolongin salah satu anggota yang luka. Tanah yang dia pijak labil, dan akhirnya dia jatuh ke jurang dan parahnya lagi di dasar jurang itu bukan cuma ada tumbuhan berduri, tapi juga bebatuan besar. Kepala dan bahu kiri Lyan kebentur batu." jelasnya panjang lebar. "Dan dia akhirnya di rujuk ke sini, karena rumas sakit setempat tidak sanggup melakukan operasi untuk kesembuhan bahu kiri Lyan."
"Emang dia tugas dimana? Kenapa harus berhadapan sama jurang?" tanya Arka.
Gilang menggeleng pelan. "Kami sebagai prajurit tidak bisa memberitahukan dimana kami ditugaskan, kalo tugas itu bersifat rahasia. Kamu juga harusnya bisa memahami itu, karena kamu juga seorang prajurit laut."
Arka akhirnya pasrah, tidak ingin mengorek informasi lebih dalam lagi, jika itu menyangkut tugas rahasia. Ia pun bisa memahami, jika dalam situasi dan keadaan tertentu, seorang prajurit memang terkadang harus merahasiakan dimana dan tugas apa yang akan dia laksanakan, karena tugas itu bersifat rahasia. Sekalipun itu harus di rahasiakan terhadapan keluarga sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...