DELAPAN BELAS

1.8K 194 34
                                    

"Mas, itu tadi.."

"Tadi kenapa?" sela Lyan, membunyikan klakson ke beberapa orang yang menunggu di dekat gerbang yang terbuat dari kayu.

"Emang bener ya, kata temen mas itu.. Kalo mas masuk Akmil gara-gara aku?" tanya Letta ragu, sementara Lyan justru terkekeh.

"Bukan." jawab Lyan seketika, yang langsung membuat Letta mengerutkan keningnya.

"Terus tadi yang temen mas bilang itu, apa coba?"

Lyan kembali terkekeh. "Kok kamu jadi ngegas gitu nanyanya?"

"Siapa yang ngegas?" Letta menjauhkan tangannya dari pinggang Lyan. "Biasa aja kok."

"Kok jadi dilepas, pegangan tangannya? Marah nih?" goda Lyan.

"Siapa yang marah? Enggak kok." Letta memalingkan wajahnya ke arah kanan, berusaha menghindari tatapan Lyan dari kaca spion sebelah kiri.

Lyan kembali meraih tangan Letta yang berada di lututnya, kemudian kembali memposisikan agar tangan Letta kembali berpegangan di pinggangnya. "Nggak usah bohong sama mas, dek. Mas tau kamu cemburu karena jawaban mas. Makanya kamu lepas pegangan kamu di pinggang mas, kan?"

Letta terdiam. Enggan menjawab pertanyaan Lyan.

"Yang temen mas bilang itu emang bener. Yang jadi motivasi mas masuk Akmil waktu itu emang kamu, lebih tepatnya kalimat kamu yang bilang kalo misalnya mas nggak bisa jagain perasaan satu orang, gimana bisa mas jagain perasaan orang se-Indonesia? Kamu inget kalimat itu?"

"Jadi..."

"Mas jawab bukan itu karena mas mau ngelihat aja reaksi kamu gimana kalo misalnya mas jawab kayak gitu. Dan ternyata, emang kamu cemburu." Lyan kembali terkekeh.

"Dasar jahil!" umpat Letta, sambil memukul pelan punggung atas Lyan.

"Aduh sakit." keluh Lyan, berpura-pura mengusap bahu kanannya dengan tangan kiri.

"Lebay deh! Orang aku mukulnya pelan juga!" sergah Letta seketika.

"Pelan tapi kan pake rasa cinta sama cemburumu, dek. Jadi berasa banget."

"Apasih? Receh banget deh kalimatnya." Letta kembali menghindari tatapan Lyan di kaca spion.

"Jadi nggak mau di kasih recehan nih?" tantang Lyan. "Ya udah. Mas ngumpulin uang dulu ya, biar nanti waktu nikahin kamu nggak ngasih kamu recehan, tapi emas murni. Semurni cinta mas sama kamu. Gimana?"

"Mas Lyan!" Letta justru memukuli bahu Lyan. "Nggak usah ngegombal lagi, fokus aja ke jalanan!"

"Ciye mukanya merah, ciye."

"Tau ah!"

***

"Gimana tidurnya semalem? Nyenyak?" tanya Lyan, begitu ia bertemu Letta keesokan harinya.

Letta yang sudah berpakaian rapi, kini duduk di kursi panjang yang berada di teras rumahnya. "Ya lumayan lah, mas. Mas sendiri gimana?"

Lyan kemudian duduk di hadapan Letta, di kursi yang cukup untuk satu orang. "Lumayan. Mimpinya juga lebih indah dari biasanya."

Letta mengerutkan keningnya. "Emang mimpi apa?"

"Mimpi jalan lagi, sama kamu."

Letta langsung memicingkan matanya menatap Lyan yang sedang terkekeh. "Mulai deh, recehannya."

"Kalian ngetawain apa?" tanya Vino, yang baru saja tiba di rumah Letta, dan langsung duduk di hadapan Lyan.

Seberapa PantasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang