"Terus, kenapa kamu justru nggak nyoba ngejalanin hubungan sama dia? Kenapa kamu justru nungguin Letta maafin kamu, dan bahkan berharap kalo kalian bisa balikan kayak dulu lagi?"
Lyan kembali tersenyum. Ia kemudian menatap Arka. "Kalo hati udah milih satu nama, dan nggak bisa ngehapus nama itu, sekalipun udah bertahun-tahun nama itu ada di hati kita, kita bisa apa, Ka? Hatiku udah nyaman sama Letta. Sama kayak apa yang kamu rasain ke Dea, Vino ke Riska, dan Darrell ke Tania. Nggak bisa pindah, sekalipun banyak cewek lain yang suka, bahkan sekalipun mereka nyatain cinta, kalo kita ngerasa nggak nyaman, apa kita bisa maksain diri buat nerima orang itu? Enggak, kan?"
"Jadi, dari dulu hati kamu udah nyaman sama Letta, dan ngerasa kurang nyaman sama yang lain?" tanya Darrell dari dalam layar handphone.
Lyan mengangguk, sambil menatap Darrell. "Iya, begitulah." Lyan kemudian menundukkan pandangannya, menatap sepatu yang menempel di kakinya, sambil kedua tangannya saling menggenggam. "Mungkin terkesan gombal, atau apalah itu. Tapi aku jujur, tentang apa yang aku rasain ke Letta."
"Oke, aku percaya." ujar Arka, yang langsung membuat semua yang ada di ruangan itu menatapnya.
"Makasih, Ka." Lyan mencoba tersenyum menatap Arka, yang langsung membalas senyumnya sambil mengangguk.
"Terus, aku di video call ini sebenernya ada apaan, woi? Cuma ngedengerin penjelasan itu doang?" sela Darrell.
Lyan menggelengkan kepalanya, sambil menatap Darrell. "Enggak, Rell."
"Terus apa? Ada yang mau kamu jelasin lagi?" tanya Vino.
Lyan kembali menundukkan pandangannya, dan meremas jemari tangannya. "Mungkin Riska masih emosi, dan nggak bisa terima sama penjelasanku tadi, dan aku minta maaf banget tentang kejadian yang terjadi sama dia dan Letta waktu itu. Itu semua bener-bener di luar kuasa aku. Aku juga sebenernya nggak mau, Intan terlalu berharap punya hubungan lebih sama aku, bahkan sampe marah-marah dan ngata-ngatain Letta kayak gitu."
"Terus, solusinya gimana? Menurut kamu, gimana caranya biar Intan itu nggak gangguin Letta lagi, bahkan nggak berharap lebih sama kamu?" tanya Arka.
Lyan menatap Arka sekilas, kemudian menatap satu persatu orang yang ada di ruangan itu. "Vin, Dea, Ris, dan kamu, Rell." Lyan menatap mereka satu persatu. "Aku mau minta kalian semua jadi saksi."
Vino, Darrell, Riska dan Dea menatap Lyan dengan tatapan bingung.
"Saksi? Saksi apaan?" tanya Vino, masih tidak mengerti dengan kalimat Lyan itu.
Lyan tidak menjawab pertanyaan Vino itu, dan justru menatap Arka. "Ka, aku ke sini bukan sebagai seorang sahabat yang main ke rumah sahabatnya. Aku ke sini, sebagai seorang laki-laki yang sedang berusaha meminta izin ke pihak keluarga wanita yang di cintai." jeda sejenak, karena Lyan menarik nafas. Menatap Letta yang menunduk sekilas, kemudian kembali menatap Arka. "Ka, aku mau minta izin sama kamu. Aku ke sini mau ngelamar Letta, buat jadi istri dan pendamping aku, ibu dari anak-anakku."
"Ha?" Vino, Darrell, Dea dan Riska menatap Lyan tidak percaya. Kecuali Dea yang langsung tersenyum menatap Lyan, ketiganya justru masih membulatkan matanya.
"Kamu serius, Yan?" tanya Darrell, di dalam layar.
"Emang aku pernah bercanda soal perasaan?" tanya Lyan, sambil menatap Darrell, yang langsung angkat tangan.
"Maksudnya mas apa?" tanya Letta, yang akhirnya membuka suara setelah sejak tadi terdiam menunduk.
"Kenapa kamu nggak nembak Letta dulu? Kenapa langsung ngelamar Letta, dan minta kita buat jadi saksi?" tanya Riska, masih dengan sikap dinginnya ke Lyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...