Mentari menyinari begitu terik, saat Kevin kembali mengenang kejadian tempo hari, saat ia ditemani oleh Lyan mengantarkan Risa pulang ke rumahnya.
Risa menghentikan sepeda motor yang ia kendarai tepat di sebuah rumah yang halamannya ditumbuhi oleh pepohonan hijau dan rimbunnya tanaman hias. Ia kemudian turun dari motor itu, menunggu Lyan dan Kevin yang baru saja berhenti tepat di samping sepeda motor yang ia kendarai.
"Di rumah kamu ada siapa aja?" tanya Lyan, setelah melepas helmnya, dan turun dari sepeda motor.
"Kayaknya ada semua di rumah, bang. Bapak, ibu sama kakak aku. Mari masuk dulu, bang, Vin." Risa kemudian masuk terlebih dahulu ke dalam rumah setelah terlebih dahulu melepas sepatu dan mengucapkan salam.
"Assalamualaikum." Lyan mengikuti langkah Risa, namun ia dan Kevin berhenti tepat di depan pintu, merasa belum di izinkan masuk.
"Kita nggak apa-apa dateng jam segini, bang?" tanya Kevin, yang memang terlihat gusar.
"Ya nggak apa-apa lah, Vin. Kan emang baru selesai acaranya." Lyan kemudian menepuk bahu Kevin, berusaha menenangkannya. "Udah, tenang aja."
Kevin mengangguk pelan, kemudian berusaha menenangkan dirinya yang gugup.
"Waalaikumsalam." jawab seorang pria paruh baya yang muncul dari dalam rumah. "Lho, kok di luar? Mari, dek, silahkan masuk." ajaknya ramah, sambil berusaha menyalami Lyan dan Kevin.
Lyan dan Kevin mencium punggung tangan pria paruh baya itu. Kemudian mereka masuk ke ruang tamu dan di persilahkan masuk.
"Nyuwun sewu, pak. Ngapunten niki, kulo Lyan, niki Kevin." menepuk bahu Kevin yang duduk di samping kanannya. "Mohon izin, maaf sebelumnya, kami tidak izin sebelumnya untuk mengantarkan Risa pulang, karena kami tidak tega membiarkan Risa menunggu angkutan di depan sekolah, sedangkan hari juga sudah mau gelap."
Pria paruh baya itu tersenyum ramah. "Bapak tau kok, dek. Risa juga tadi di belakang sudah menjelaskan singkat sama bapak, jadi bapak juga tau. Dan bapak juga tidak mempermasalahkannya. Bapak malah berterimakasih karena kalian berdua sudah mau repot-repot mengantarkan Risa selamat sampai di rumah. Terimakasih ya, dek." Pria paruh baya itu kembali tersenyum.
Lyan mengangguk. "Siap, sama-sama, pak. Sebenarnya saya cuma menemani Kevin yang bingung dan tidak tega membiarkan Risa menunggu angkot sendirian. Kevin yang berniat mengantarkan Risa pulang, juga ingin menjaga kehormatan Risa karena mereka bukan muhrim. Jadi dia meminta tolong pada saya untuk menemaninya mengantar Risa, karena takut timbul fitnah jika mereka pulang hanya berdua."
"Wah nak Kevin baik sekali. Saya sungguh berterimakasih karena nak Kevin selain menjaga keamanan Risa, nak Kevin juga sudah berkenan menjaga kehormatan anak saya. Terimakasih ya, nak." ujar pria paruh baya itu.
Kevin yang sejak tadi terdiam, kini akhirnya berhasil mengalahkan rasa gugupnya dengan menatap pria paruh baya yang berstatus ayah Risa itu. Ia mengangguk sambil tersenyum kikuk. "Sama-sama, pak. Maaf sudah terlambat mengantarkan Risa sampai hari sudah hampir gelap begini."
Ayah Risa itu mengangguk. "Bapak mengerti kok, nak. Tadi Risa juga sudah izin untuk pulang terlambat karena ada kegiatan di sekolah. Kebetulan, kakaknya Risa yang biasa menjemput Risa juga sedang ada acara di kampus, makanya tidak bisa menjemput Risa."
Selang beberapa detik, terdengar suara adzan yang menandakan sudah waktunya sholat maghrib.
"Sudah waktunya sholat maghrib. Mari nak Lyan, kita ke masjid sama-sama." ajak Ayah Risa pada Lyan, yang langsung membuat Lyan kebingungan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...