"Ini apa, Vin?" Lyan mengerutkan keningnya, begitu Kevin yang baru saja datang menjenguknya, memberikan sebuah kotak bekal padanya.
"Titipan dari Bu Letta, bang. Katanya buat abang." Kevin mengangkat bahunya. "Aku cuma dititipin, bang. Nggak tau apa-apa."
Lyan yang masih memegang kotak itu, kini menatap Vino yang berdiri di dekat brankarnya. "Gimana?"
Vino mengangkat bahunya. "Bukan orangnya ini yang ke sini. Jadi kamu nggak menyalahi takdir dengan ketemu dia secara sengaja."
Setelah mendengar jawaban Vino itu, Lyan langsung membuka kotak bekal itu, mengerutkan keningnya, kemudian tersenyum. "Masih inget aja dia."
Vino dan Kevin yang berada di ruangan itu mengerutkan keningnya, begitu melihat Lyan hanya menatap isi kotak itu sambil tersenyum, tanpa berniat menunjukkannya pada mereka berdua.
"Bang, isinya apa?" tanya Kevin, terlanjur penasaran.
"Bakwan jagung." jawab Lyan santai, sambil mengambil satu bakwan jagung dari kotak, lalu memakannya dengan lahap.
Vino menggelengkan kepalanya. "Masih inget aja dia. Katanya dulu benci, dan nggak mau ketemu lagi. Tapi sekarang?" Ia kemudian menghela nafas kasar. "Kayaknya bentar lagi ada yang berharap buat ketemu Letta nih, Vin."
"Bukannya tanpa perlu berharap, Bang Lyan juga masih bisa ketemu sama Bu Letta, bang? Kan tiap hari selasa sama kamis, Bang Lyan ke sekolah buat ngelatih PASKIB." balas Kevin.
"Iya ya." Vino seperti baru teringat akan hal itu. "Kamu kan masih punya banyak kesempatan buat ketemu sama Letta, Yan."
Lyan menelan makanan di dalam mulutnya. "Ya percuma aja ketemu, kalo dianya di awasin sama Pak Guru itu. Orang tiap aku sama Letta nggak sengaja ketemu aja, tuh guru selalu melotot matanya." keluhnya, kemudian kembali mengambil sepotong bakwan jagung.
"Ya tapi kan mereka masih pacaran. Bisa lah ditikung dikit. Lagian Letta juga kayaknya udah maafin kamu, dan Arka kayaknya nggak setuju sama hubungan Letta sama guru itu." Vino berusaha menyemangati Lyan.
"Tau darimana?" sergah Lyan seketika.
Vino terlihat kikuk. Bingung hendak menjawab pertanyaan Lyan itu dengan kalimat apa. Ia kemudian mengusap terngkuknya. "Ya kan kelihatan dari gelagatnya, Yan. Waktu aku ketemu sama Letta."
"Sok tau!" cibir Lyan, kembali menggigit bakwan jagung dalam genggamannya.
"Yee ini anak! Di belain malah songong gitu balesannya!" umpat Vino seketika.
***
Letta menyusuri koridor sekolah dengan perasaan campur aduk. Ia masih mengingat betul ultimatum dari Arka, tentang ia yang harus segera menjauhi Radit, juga tentang ia yang sudah menyembunyikan hubungannya dengan Radit, walaupun ia tak berniat demikian.
Letta menghembuskan nafas perlahan. Mencoba menghilangkan masalah itu dari pikirannya untuk sejenak, mengingat ia harus menjadi guru yang profesional, yang bisa menutupi segala macam masalah dalam dirinya di depan semua muridnya dengan senyum seperti biasanya.
"Risa? Kamu kenapa duduk sendiri di sini?" Letta menghampiri Risa, yang sedang duduk di kursi kayu panjang di depan kelasnya, kemudian duduk di sampingnya. "Nggak ikut pelajaran olahraga? Itu yang lagi di ajar sama Pak Radit, kelas kamu, kan?"
Risa tersenyum simpul ke arah Letta, kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Saya lagi nggak enak badan, bu. Makanya nggak ikut pelajaran olahraga. Nggak ada tenaga buat ikut lompat tinggi."
"Ya ampun." Letta memekik. "Perlu ibu anter ke UKS, buat minta obat? Badan kamu juga kelihatan pucat."
Risa kembali menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, bu, makasih. Saya cuma butuh istirahat aja kok. Nanti juga sembuh sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...