"Apa kabar? Aku kangen banget sama kamu."
Lyan masih menatap bangku di hadapannya dengan senyum samar. Ia kemudian menghapus air di sudut matanya dengan kasar.
Beranjak dari tempatnya berdiri, kemudian duduk di bangku di dekat kantin sekolah itu. Lyan mengusap setiap jengkal bagian bangku itu, kemudian kembali tersenyum.
"Bahkan rasanya masih sama. Sama waktu pertama kali aku sadar, kalau aku jatuh cinta sama kamu, dan harus nyembunyiin semua itu dari Arka." batin Lyan.
Lyan kemudian menatap pohon beringin di belakangnya, lalu menatap tepat di atas bangku itu. Ada sebuah foto yang ditempelkan di pohon itu. Foto lama yang dilapisi plastik tebal, yang menampilkan seorang siswa berseragam SMP dengan topi dari anyaman bambu sedang menatap siswi di sampingnya dengan jahil. Siswi itu juga berseragam SMP. Menggenggam topi dari anyaman bambu, dengan rambut yang di ikat dua dengan pita warna-warni. Di dada kedua siswa-siswi itu tergantung sebuah kertas, yang masing-masing bertuliskan Onta dan Kelinci.
"Lyan ya?" tanya seorang pria paruh baya, berbadan kurus, dengan handuk kecil di bahunya.
Lyan tersenyum, sambil bangkit dari duduknya. "Apa kabar, mang? Sehat?" tanyanya, sambil mengulurkan tangan ke arah pria paruh baya yang dipanggil 'Mang' itu.
Pria paruh baya itu tersenyum ramah sambil membalas uluran tangan Lyan. "Mang Diman mah selalu sehat. Makanya masih ngurusin kantin sampe sekarang." jawabnya, sambil menepuk bahu Lyan dua kali. "Kamu udah jadi tentara sekarang?"
Lyan mengangguk. "Iya nih, mang. Panggilan hati. Nurutin kemauan orang juga." Ia kemudian menyeringai.
"Letta ya?" tebak Mang Diman, yang langsung membuat Lyan mengusap tengkuknya.
"Nah itu tau, mang."
"Kamu ini!" Mang Diman memukul lengan Lyan. "Ayo ke kantin. Nanti mamang buatin bakso kesukaan kamu." Ia kemudian merangkul bahu Lyan.
"Tapi, bayar nggak nih? Kan Mang Diman yang nawarin mau buatin, bukan aku yang minta lho." tahan Lyan, yang langsung membuat Mang Diman memukulnya dengan handuk.
"Udah jadi tentara juga. Masih aja suka gratisan!" cibir Mang Diman, yang langsung membuat Lyan terkekeh.
"Ya gimana, mang. Kadang walaupun di kantor aja jiwa gratisan itu meronta-ronta sih." canda Lyan.
"Halah kamu ini." jawab Mang Diman pasrah. "Ya udah, ayo." Ia kemudian merangkul Lyan yang masih terkekeh, ke kantin sekolah.
"Kamu lihat kan sekarang? Aku nepatin janji aku, buat tertawa di tempat penuh kenangan kita sekarang, waktu kamu udah lama ninggalin aku." batin Lyan. "Yang tenang di sana. Karena aku juga pasti bakal bahagia, lebih bahagia waktu aku sama kamu dulu, Mel."
***
"Jadi, tugas kamu udah selesai semua di Jakarta?" tanya Akhdan setelah menelan makanannya, saat ia, Lyan dan Diana sedang menikmati menu sarapan mereka.
Lyan yang juga sedang mengunyah makanannya hanya bisa mengangguk.
"Dapet izin cuti berapa hari?" kali ini, Diana yang menanyakan hal itu.
"Nggak dapet izin cuti, ma." jawab Lyan.
Diana mengerutkan keningnya. "Lho? Bukannya biasanya kalo kamu tugas ke luar kota, abis itu kamu minta izin cuti? Kok ini nggak dapet?"
Lyan tersenyum, kemudian menutup sendok dan garpunya di atas piring, tanda ia selesai makan. "Lyan nggak ambil cutinya, ma." jawabnya, setelah meneguk air putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...