DUA PULUH EMPAT

1.6K 155 17
                                    

"Aku serius sama dia." jawab Lyan tegas.

Gilang kembali mengerutkan keningnya, menatap Lyan yang kini kembali mengunyah makanan dalam mulutnya. "Yakin?"

Lyan kembali menatap Gilang. Merasa jengah karena terus menerus di beri pertanyaan tentang perasaannya terhadap Letta. "Masih nggak percaya juga?"

"Ya gimana mau percaya? Sikapmu anteng gini waktu ketemu sama dia." Gilang mengusap tengkuknya.

Lyan menghela nafas. "Aku bersikap kayak gini, biar keputusan dia nggak terpengaruh, Lang. Apapun itu keputusan dia. Aku bakal terus bersikap kayak gini, selama dia belum ngasih jawabannya."

Gilang mengerutkan keningnya. "Kalo misalnya dia..."

"Izin, Komandan. Waktu istirahat sudah hampir habis. Izin petunjuk?"

Lyan menatap Gilang, lalu beralih menatap Syarifudin yang masih berdiri di sisi kirinya. "Kembali ke markas." tegas Lyan.

"Siap. Izin mendahului, Ndan."

Lyan mengangguk menanggapi kalimat itu. Kemudian, ia beralih menatap Gilang, yang masih duduk sambil menatapnya. "Intinya, apapun jawaban Letta nanti, aku tetep bakal bersikap kayak gini ke dia. Sama kayak sikapku ke cewek lain. Aku nggak mau ada salah paham lagi antara aku sama Letta gara-gara sikapku yang terlalu ramah sama cewek lain. Ngerti, Lang?"

"Oke." Gilang mengangguk paham. "Kalo itu alesannya, aku setuju. Biar nggak ada cewek yang mau ngedeketin kamu juga, Yan."

"Nah, itu tau!" jawab Lyan. Ia lalu beranjak berdiri. "Udah, ayo balik ke markas."

***

Letta menutup pintu kamarnya, lalu berjalan menghampiri Arka yang sedang menonton siaran sepakbola di ruang tengah rumah mereka.

"Kenapa, dek?" tanya Arka, saat Letta menyandarkan kepalanya di bahu kanannya. "Ada masalah di sekolah?"

Letta menggelengkan kepalanya.

"Terus kenapa? Kamu lagi ada masalah yang mau kamu ceritain ke kakak?" Arka kini menatap Letta, yang kini bersandar di sofa yang mereka duduki.

"Kakak besok nggak kemana-mana, kan?"

Arka mengerutkan keningnya. "Enggak ada. Emangnya kenapa?"

"Besok temenin aku ke acara nikahannya temenku ya? Please, kak."

Arka semakin bingung karena Letta kini mengguncangkan tangan kanannya. "Emang temen kamu itu siapa sih?"

"Salah satu guru di sekolah." Letta kembali bersandar di sofa. Menghadap televisi, sambil bersidekap.

"Kenapa nggak bareng aja sama temen-temen kamu yang juga guru di sana? Kan pasti mereka juga di undang."

"Mereka nggak di undang di acara akad nikahnya, kak, tapi di acara resepsinya. Kalo aku kan di undang di acara akad nikahnya."

"Terus?" tanya Arka.

"Ya aku mau kakak nemenin aku ke acara itu. Soalnya kalo nggak ada yang nemenin tuh aku kayak orang hilang di sana. Nggak ada yang aku kenal sama sekali di acara itu."

"Kenapa kamu nggak ngajak Lyan aja?" Arka menggoda Letta dengan menaik-turunkan alis tebalnya sambil tersenyum.

Letta mendengus sebal. "Apaan? Temen kakak itu bahkan cuek banget, waktu terakhir kali kita ketemu."

"Cuek gimana maksud kamu?" tanya Arka, setelah ia mematikan televisi di ruangan itu.

"Ya cuek." jawab Letta. "Sikapnya tuh nggak kayak dia habis ngelamar aku. Sikapnya ke aku tuh sama kayak sikap dia waktu kita baru pertama baikan. Canggung, kaku, ya gitulah pokoknya. Makanya aku lagi sebel banget sama temen kakak itu."

Seberapa PantasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang