"Oh iya, De, Arka kapan pulang dari Spanyol?" tanya Lyan.
"Beberapa hari lagi katanya udah sampe Jakarta. Paling abis itu langsung pulang." jelas Dea.
"Langsung nemuin kamu, iya, De." sergah Letta. "Dia mana inget jalan pulang." sambungnya, yang langsung membuat teman-temannya tertawa.
"Sabar ya, bu guru." Tania memeluk Letta yang terlihat kesal. "Kalo nggak ada Arka, kan masih ada tuh Pak Tentara yang lain, yang bakal sedia setiap saat nemenin kamu." lanjutnya, sambil melirik Lyan yang bersandar pada tiang penyangga.
"Dia? Sedia setiap saat?" Letta membeo. "Kalo ditelepon langsung di angkat aja, itu udah rekor banget, Tan."
Tania langsung mengerutkan keningnya. "Maksud kamu?"
Vino terkekeh. "Handphone Lyan itu lebih sering mode silent daripada mode dering, Tan. Jadi wajar aja kalo misalnya telepon Lyan harus berkali-kali dulu baru di angkat."
Lyan mengusap tengkuknya. "Ya gimana, lebih sering sama Komandan sih. Kalo handphone bunyi terus karena ada notifikasi kan nggak enak. Jadi gitu deh. Silent mode selalu on."
"Dasar!" umpat Tania.
"Abis ini kita mau kemana? Jadi kita main air?"
***
"Aduh, capek banget ternyata." keluh Riska, saat ia dan teman-temannya sampai di rumah Letta, setelah liburan.
"Kalo nggak mau capek ya diem aja di rumah, Ris." sergah Darrell.
"Ish! Nyebelin!" umpat Riska.
"Guys, aku pamit ke minimarket bentar ya?" pamit Letta, yang memang sejak sampai di rumah langsung masuk ke dalam rumahnya.
"Mau beli apa, Ta?" tanya Dea, yang duduk di samping Tania.
"Em, biasalah, kebutuhan cewek, De." jawab Letta sedikit kikuk. "Aku pamit dulu ya."
"Dek, tunggu!" seru Lyan. "Mas anter aja ya?"
Letta yang sudah di ambang pintu, kini terlihat berpikir. "Tapi, mas.."
"Mending kamu di anterin Lyan aja, Ta. Ini kan udah malem, bahaya kalo kamu pergi sendiri." saran Vino.
Letta kemudian menatap Lyan. "Nggak ngerepotin, mas?"
"Ya enggak lah." jawab Lyan, sambil menghampiri Letta. "Oh iya, kalian mau nitip apaan?" Ia menatap satu persatu temannya.
"Yan, beliin minuman isotonik." jawab Darrell, setelah mengangkat tangannya.
Lyan mengangguk. "Oke. Yang lain, nggak ada yang mau nitip?"
***
"Kamu yakin, nggak ada yang mau kamu beli lagi?" tanya Lyan, saat ia dan Letta berada di salah satu supermarket.
Letta kembali mengamati barang belanjaan yang berada di keranjang belanja yang di bawa Lyan. "Udah, mas. Yang aku butuhin kan cuma itu. Yang nambahin isi keranjangnya kan mas tadi."
Lyan menatap keranjang belanja yang ada di tangannya. "Ya emang mas mau beli sabun sama pasta gigi sekalian, Dek. Di rumah abis soalnya. Lagian mas juga beli permen buat di.."
"Buat di.. Apa, mas?" tanya Letta, karena Lyan tidak menyelesaikan kalimatnya. "Setau aku, mas suka makan permen itu cuma waktu di perjalanan jauh." Ia menatap Lyan dengan curiga. "Mas ada tugas ke luar kota lagi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seberapa Pantas
RandomSeberapa pantaskah kita bersama dengan orang yang kita cintai? Seberapa pantaskah kita melalui hari-hari bersamanya? Seberapa pantaskah kita menjadi alasannya untuk tersenyum? Dan seberapa pantaskah kita menghapus segala dukanya? Kisah seorang tenta...