Bab 9 - Bagaimana Aku Bisa Menjadi Gila

960 37 0
                                    

Bab 9 – Bagaimana Aku Bisa Menjadi Gila

(Axelyon, 27 tahun)

“Laura!” Aku memanggil dengan suara cukup keras dan bergema. Yakin bahwa dia memang sosok wanita yang pernah mendampingi hidupku. Yakin bahwa aku hampir gila memanggil namanya di tengah banyak orang seperti ini.

Namun, aku tetap menunggu. Aku menunggu dan menunggu.

Hingga wanita itu berbalik dan mata hazelnya berpencar ke seluruh ruangan. Ada banyak orang di sana. Bahkan di luar aula, masih ada banyak tamu dengan pakaian mewahnya, mengobrol tak kenal waktu, bersembunyi di balik topeng di wajah mereka.

Namun, wanita itu tetap mencari dan diriku yang bersembunyi di balik topengku sendiri. Detik itu aku yakin, Q sudah memanipulasi seluruh kehidupanku bahkan sampai Laura tak mengenali suaraku. Meski demikian, Laura masihlah sama seperti dirinya yang biasa. Rambut hitam dan mata biru laut itu masih dimilikinya. Dia menyukai warna gelap, maka dari itu tampak sekali dari gaun yang ia pakai untuk acara ini.

Dia tampak baik-baik saja. Tak ada wajah pucat atau apapun. Dia masihlah Laura yang kuingat. Laura yang sudah kutinggalkan.

Lama mencari yang tak bisa ditemukannya, Laura menganggap panggilanku tadi itu tidak berarti apa-apa dan memilih untuk berlalu begitu saja. Laura kemudian pergi menjauh dari kerumunan, melewati resepsionis. Melewati penjaga pintu masuk hotel dan sejenak menunggu taksi. Dan seperti itulah, malam acara reuni SMA Harrington kuhabiskan dalam diam mengawasi wanita yang pernah menjadi istriku.

Apa yang kupikirkan? Mengapa aku malah mengejar sosoknya dan meninggalkan Cheryl di tengah lantai dansa? Aku melewatkan ujung pelangi yang seharusnya menjadi milikku dan aku malah menolah pada awan badai yang pernah menghancurkan kehidupanku. Atau mungkin pernikahanku.

Apa aku sudah gila?

“Kau tidak gila,” sahut seseorang tiba-tiba muncul di sampingku.

Aku hampir ingin tertawa dengan kehadirannya sekarang. Masih dengan pakaian formal kesayangannya, jas dan celana panjang hitam disertai dasi biru tersimpul di kerahnya. Si Tuan Q yang menghilang kini muncul di depan mataku dengan seringai lucu di balik topeng hitam yang menyembunyikan separuh wajahnya.

“Apa yang kau mainkan padaku, Q?” desisku dengan nada lebih kesal dari biasanya.

“Kau tidak senang?” tanya lelaki itu mengejekku. “Selama berhari-hari kau menanyakan bagaimana kabar Laura? Ada di mana dia sekarang? Apa yang dia lakukan? Apa dia sudah menikah atau tidak? Setelah semua pertanyaan konyolmu itu dan sekarang … kau marah?”

“Laura menggangguku,” tukasku menekankan setiap suku kata.

Q kembali menyeringai dan meminum segelas wine yang seketika muncul di tangan kanannya. Entah dari mana asalnya. “Laura tidak mengganggu. Dia bahkan tidak mengenalmu maupun Cheryl. Atau Nathan sekalipun.”

Aku mendecak dan membenarkan kenyataan itu, “Kau bilang kau ingin akhir cerita yang bahagia, bukan? Jika Laura ada di sini maka ….”

“Kau masih mencintainya?” potong Q membuatku bungkam seketika.

Terutama bagian di mana dia menyeringai padaku. Seolah dia menantangku. Seolah dia tahu benar isi hati dan pikiranku. Membuat pikiranku menerawang, bertanya-tanya ada di pihak mana Q sekarang? Apa dia ada di pihakku? Atau dia ingin mengganggu?

“Apa maumu, Q?” tanyaku dingin dan berusaha mengontrol suaraku tetap pada tempatnya.

“Ini dunia yang kumanipulasi untukmu, Tuan Axelyon. Ini permainanku dan aku butuh hiburan,” katanya memamerkan deretan gigi putihnya. “Aku suka apa yang kau tunjukkan padaku, Axelyon. Terutama adegan di mana kau meninggalkan istrimu alias Cheryl yang kau impikan di tengah lantai dansa yang ramai.”

The Replacing Husband (TAMAT) | 1.3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang