-04-

1.5K 227 43
                                    

"Apa saja yang kau lakukan dibelakangku selama ini?"tanya Mino dengan tatapan mengintimidasi pada wanita dihadapannya saat ini.

"Aku bekerja. Aku bekerja di kedai kopi dekat sini. Sungguh"jawab Irene gugup. Sedangkan Mino yang tadinya melipat tangan di dada mulai melonggarkan sikapnya, ia memasukkan kedua tangannya ke sakunya.

Dia jujur, aku Mino dalam benaknya.

Mino lantas berjalan mendekat menghampiri Irene lalu meraih tangan kanan gadis itu. Tanpa aba-aba maupun sepatah kata, Mino kembali membuat Irene berdegup dengan tingkah spontannya. Tak ada perubahan, pikir Mino ketika melihat tangan Irene. Ia membandingkannya dengan luka yang ia lihat 2 hari lalu saat mereka sarapan pagi bersama. Mino tak melakukan apa-apa saat pertama kali tak sengaja melihat luka itu, namun ia berubah pikiran seketika dan menunggu gadis itu pulang hingga larut malam. Mino kemudian menarik tangan Irene ke pantry usai membolak-balik pergelangan tangan gadis itu.

"Biar aku saja"tawar Irene saat Mino ternyata berniat membantunya mengobati luka.

"Gwenchana, aku akan membantumu"tutur Mino pelan sambil mengoles tipis krim luka bakar di pergelangan tangan Irene.

"Mengapa kau menemui manager marketing hotel ini menanyakan harga penthouse-ku?"tanya Mino sambil mengoles krim.

"Aku sedang menghitung hutangku. Aku tak tahu kalau penthouse mu ternyata sangat mahal, belum lagi biaya operasi dan kamar rawat. Mengapa kau menempatkan ku di kamar VIP?. Harganya benar-benar mahal"keluh Irene yang membuat Mino menarik sedikit ujung bibirnya, senyum.

"Aku melakukannya bukan untukmu, tapi untuk diriku sendiri. Menurut mu, apa yang akan orang pikirkan ketika aku menemui mu secara pribadi di ruangan yang diisi empat sampai enam orang?. Orang akan mencaritahu urusan pribadiku ketika aku menghampirimu"jawab Mino tanpa melihat Irene karna sibuk menutup tube krim yang ia gunakan. Ia yakin wanita itu akan menuduhnya sebagai pria dengan kepribadian narsistik, padahal Mino benar-benar  jadi selebriti sejak ia melihat kamera memotretnya dari kejauhan saat bersama Penyiar Choi. Beruntung sejumlah uang mampu menutup mulut dan lensa kamera wartawan tersebut.

"Hajima"

"Nde?"

"Hajima. Arubaito. Aku tak kan meminta uangku kembali, kau tak perlu berusaha menggantinya"tutur Mino yang menarik salah satu laci didekatnya lalu menarik keluar amplop yang cukup tebal.

"Apa ini surat perjanjian lagi?"Irene tampak enggan membuka amplop yang mirip dengan pemberian Mino saat di rumah sakit.

"Aniya. Jjinjja. Kalau begitu berhentilah dari kerja paruh waktumu, aku akan mencarikan pekerjaan yang tepat"Irene kemudian membuka amplop tersebut.

Kartu tanda pengenal, akta lahir, bahkan ijazah disediakan Mino. Irene berulangkali memandangi kartu tanda pengenalnya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya hingga lupa Mino masih berada disisinya memandangi mata yang tak henti berbinar karna sebuah kartu.

"Kamsahamnida. Neomu neomu kamsahamnida"Irene kembali membungkuk hingga membuat suasana mendadak canggung diantara keduanya karna Mino tentu ikut-ikutan menunduk.

"Kkeundae, kalau aku sudah punya identitas mengapa aku tak boleh tetap bekerja disana?. Dengan identitas ini aku bisa jadi pegawai tetap mereka"tanya Irene, gadis itu menatap Mino yang tengah memutar otak agar ia tidak di cap penguntit.

Orang mesum. Narsis. Ditambah lagi penguntit?. Oh tidak!. Mino tak ingin wanita itu salah paham lagi, ia masih ingat betul rasa nyeri di pipinya. Ia tak mungkin mengatakan kalau ia pernah sengaja mampir ke kedai kopi itu dan melihat Irene disepelekan hanya karna ia pekerja paruh waktu dan tak punya identitas lengkap. Niat baiknya akan berubah menjadi petaka jika ia salah bicara.

Hold My Hand [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang