“Fiat Justitia Ruat Caelum”
Keadilan harus ditegakkan sekalipun langit runtuh=0=
■FLASHBACK ON■
Anak itu duduk dibangku paling ujung ruang latihan, orangtuanya secara khusus membangun ruang olahraga dirumah mereka, ia kemudian menaruh penutup kepala anggar itu dikursi kosong disamping kanan tubuhnya. Ia mulai gelisah dan mengetuk-ketukan jemarinya, ia sungguh tak suka menunggu. Namun, sepasang matanya tertuju pada kotak khusus disisi kirinya yang dipenuhi patahan pedang yang sudah tidak digunakan lagi. Dilepasnya sarung tangan putih miliknya demi merasakan sensasi patahan pedang yang menarik perhatiannya beberapa menit lalu.
Jemarinya menikmati setiap sisi pedang berbahan Maragine* itu, sepasang matanya menemukan ada satu hal disana yang membuatnya benar-benar tertarik. Pola irisan pedang. Entahlah, ia sendiri tak tahu darimana asalnya, tapi bentuk persegi itu tampak menawan saat ini. Ah, bukankah pola irisan pedang ini akan semakin menarik jika ditemukan ditubuh seseorang?, angannya.
“Hyeong, kajja. Ayo kita main”sahut saudaranya dari kejauhan yang diiringi pelatih mereka.
Diraihnya kembali penutup kepala miliknya, langkahnya mengayun santai ke arena anggar. Usai memasang kabel dibelakang tubuhnya, tatapan tajamnya lebih dulu menusuk lawan. Ia sungguh percaya diri dengan olahraga ini, tepatnya olahraga anggar bernomor floret, ia kemudian menggenggam erat pedang yang terbilang cukup ringan dibanding pedang anggar yang lain. Nalurinya mengisyaratkannya untuk menyerang lebih dulu dengan berani dan itu membuahkan hasil, ia meraih poin pertama. Ia memimpin permainan berkat kebolehannya menepis setiap pedang yang diarahkan padanya, mencegah lawan sekaligus adiknya meraih poin di 5 menit pertama.
Oh, tidak, bahkan jika adiknya tak menggunakan topeng anggar itu, ia selalu melihatnya sebagai lawan. Tak ada yang salah diwajah adiknya, sama sekali tidak, namun kebencian itu enggan sirna, hingga satu waktu ia paham mengapa selama ini ia membenci adiknya.
■FLASHBACK OFF■
=0=
Benda tipis, lembut, dan lembab itu berulang kali menabrak bibir Mino. Laki-laki itu sebenarnya sudah dalam keadaan setengah sadar, karenanya ia enggan membuka matanya dan justru menutupnya lebih rapat saat adegan itu berlangsung.
‘Apa ini?. Irene sungguh menciumku?. Apa dia melakukan ini karna tau aku tidak sadar?’pikirnya saat ciuman singkat itu menghujam bibirnya berulang kali.
Perlahan, ia mengintip lewat salah satu kelopak matanya, ia membukanya sedikit lebih lebar karna pandangannya yang masih tertutup bulumatanya sendiri.
“Appa, ireonna”bujuk Hana, gadis kecil yang pagi ini membuat Ayahnya dimabuk kepayang berkat tingkahnya. Bagaimana tidak, fantasi Mino sudah merambat kemana-mana gara-gara kebiasaan yang sebenarnya tiap hari ia lakukan dengan Hana.
“Irene Imo ayo bangun”bisik Hana pelan ke telinga Irene, padahal Mino sudah melarang bocah kecil itu agar tak membangunkan Irene, Mino pikir Irene pasti kelelahan mengurusnya semalaman.
Irene terkesiap, ia sontak melepas genggaman tangannya dengan Mino dan lompat dari kasur begitu melihat Hana berbaring diantara mereka. Ia tak ingin gadis kecil itu salah paham. Irene benar-benar salah tingkah, ia benar-benar khawatir Hana akan membencinya setelah ini.
“Sepertinya aku akan terlambat, aku harus siap-siap berangkat kerja”tutur Irene, diselipkannya anak rambutnya ke belakang telinganya usai menunduk.
“Irene-aa...”lagi, Mino menahan lengan Irene saat gadis itu hendak kabur dan Irene lantas melepasnya begitu melihat Hana memperhatikan aksi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hold My Hand [COMPLETED]
FanfictionAnak Perusahaan Warren Group di Korea Selatan kedatangan direktur baru. Bukan karna diutus, namun berkat permintaan pribadi sang direktur. Song Min Ho. Direktur termuda dalam sejarah pimpinan Warren Group. Ia menjadi sosok yang tengah hangat diperbi...