1. All That Remains

10K 803 56
                                    

Manusia cenderung menghindari sebuah tempat yang tidak diinginkannya. Sebagai manusia, aku pun merasakan hal yang sama, ingin keluar dari tempat yang kumuh ini—tempat yang sedikit gelap dengan dinding yang sudah berlumur noda akibat debu yang menempel. Namun, keterpaksaan membuatku duduk lebih lama, menyandarkan tubuhku dan menahan beban yang semakin lama semakin terasa berat sembari mendengarkan atasanku yang tengah berbicara. Suaranya sedikit terdistorsi, telingaku tak dapat menangkapnya dengan baik akibat rasa kantuk yang menyelimuti pikiranku. Bahkan, aku tertunduk beberapa kali.

Ah ya, aku berada di ruang rapat—ruang penumbalan. Di mana tentu saja seseorang, atau mungkin beberapa di antara kami, akan ditunjuk untuk menyelidiki sebuah kasus. Itu juga lah alasan mengapa aku tak ingin berlama-lama di tempat ini. Karena aku tahu, sekali diriku dipanggil, artinya ada sebuah kasus yang entah harus kuterima dengan bahagia karena aku mendapatkan pekerjaan, tidak menjadi seseorang yang menerima gaji buta, atau harus bersedih karena aku tahu suatu kasus sedang terjadi.

Wijaya berbeda denganku, tubuhnya tegak dengan kepala yang tak digerakkannya sama sekali. Alisnya menajam, membuat kerutan pada kening putihnya, sedangkan kedua tangannya mengetuk meja, hampir tak terdengar oleh siapapun, berulang kali hingga aku dapat mengingat dengan jelas nada yang ditimbulkannya. Jika jiwa musisi ada dalam tubuhku, mungkin ketukan Wijaya sudah kujadikan sebagai nada dasar untuk mengaransemen lagu.

Wijaya duduk di sampingku pada bangku paling belakang—kegemaran kami. Mungkin, Wijaya hanya mengikutiku yang terbiasa untuk duduk di bagian ini, sehingga membuatnya terbiasa untuk duduk di sini. Ah, iya, sesuai janji Komisaris Yudha yang kini tengah berbicara di depan, akhirnya hampir setiap kasus yang diberikan padaku juga diberikan pada Wijaya, menjadikan kami sebagai rekan kerja yang tak terpisahkan selama berada dalam satu divisi, tetapi aku tak mempermasalahkan hal itu. Selama ini, semuanya berjalan cukup lancar. Beberapa kasus setelah kasus pertama Wijaya, dapat kutangani dengan baik bersama dirinya. Tak ada perbedaan pendapat yang terlalu signifikan. Bahkan, semua kasus dapat ditutup dengan alasan yang jelas. Semakin ke sini pun Wijaya tampak lebih lihai dalam menangani kasus. Selalu berpikir rasional, teliti seperti biasanya, membuatku merasa menjadi orang tolol karena tak dapat mengimbanginya. Namun, Wijaya masih tetap menghormatiku sebagai seorang senior yang padahal tidak begitu kupedulikan. Ia selalu saja rendah diri. Dasar, kebiasaan.

Komisaris Yudha memberikan gambaran singkat mengenai kasus yang baru ditemukan pagi ini. Seorang mayat laki-laki ditemukan di dalam mobil yang terparkir pada daerah Cipaganti. Daerah perumahan yang setahuku lumayan sepi, khas tempat tinggal orang-orang elit. Bahkan, saking sepinya, aku tak ragu antara satu orang dengan orang yang lain, yang saling bertetangga, tak mengenal satu sama lain. Tentu saja aku berani berkata begitu karena beberapa kasus pun pernah terjadi pada lokasi dengan lingkungan yang mirip. Bukan tempat orang mati, mungkin hanya karena orang-orang yang tak begitu suka bersosialisasi—aku dapat memahaminya.

Mobil tersebut ditemukan oleh salah satu penghuni rumah yang hendak mengeluarkan mobilnya. Namun, mengetahui ada seseorang yang memarkir mobilnya sembarangan, di depan rumahnya, ia menjadi gusar. Sang penemu mengetuk mobil beberapa kali setelah mengetahui ada seseorang di dalamnya. Namun, tak ada respon, akhirnya lelaki itu merasakan sesuatu yang tak beres. Semakin lama, semakin kencang ia ketuk pintu mobil untuk penumpang depan. Namun, tetap berakhir dengan kekosongan. Sang pria yang berada di dalam mobil tak bergerak—diam. Tentu, sang penemu berpikir bahwa lelaki yang berada di dalam mobil itu tertidur. Namun, pemikiran itu harus disingkirkannya jauh-jauh ketika menengok pada bagian bangku penumpang tengah. Sebuah alat pembakaran dengan bara yang menyala terlihat walaupun tidak begitu jelas, membuat sang penemu tak berpikir panjang untuk menghancurkan kaca mobil bagian belakang, mencoba menyelamatkan nyawa lelaki itu. Tentu dibarengi dengan kecekatannya untuk menghubungi kami—pihak kepolisian.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang