13. Truth be Told

3.5K 501 19
                                    

Suaranya sedikit terdistorsi, menggema tak keruan dengan suara statis yang timbul dan tenggelam secara bergantian. Desisan ular—atau setidaknya suara yang mirip seperti itu—berulang kali terdengar, menghilangkan suara sesungguhnya yang ingin kudengar. Telingaku terasa hampir tak berfungsi, membuatku kebingungan untuk mengetuk ulang ponsel Wijaya atau harus kubersihkan telingaku. Namun, di saat seperti ini, Wijaya meminta maaf karena sengaja menyimpan ponsel di balik saku kemejanya, membuat hasil yang tak begitu baik karena noise yang terdengar lebih dominan dibandingkan dengan suara Janu.

Akhirnya, aku menyerah. Kurasa akan lebih baik untuk melihat rekaman ruangan langsung daripada harus mendengar rekaman dari ponsel Wijaya. Aku tahu, kedengarannya tolol untuk merekam suara sedangkan aku tahu bahwa di balik ruangan ini—sembunyi-sembunyi—telah tersimpan alat lain yang tak kalah canggihnya, mengambil seluruh pergerakan setiap orang yang berada di dalam ruangan sekaligus mengambil rekaman suara segala ucapan yang diberikannya. Hanya saja, mengambil rekaman sendiri terasa lebih pribadi bagiku. Seluruh benda itu seolah menjadi milikku, bebas untuk kugunakan. Jadi, ya, semua itu hanya agar aku merasa nyaman, tetapi sepertinya kebiasaanku itu berlanjut pada seluruh rekan kerjaku, utamanya Wijaya. Tak pernah sekalipun dia menolak melakukannya. Aku sendiri tidak begitu yakin akan alasannya, tapi terkadang aku berandai-andai, apakah ia merasakan hal yang sama?

Kuberikan ponsel Wijaya kembali padanya, menyebrangkannya melalui gesekan meja yang mungkin dapat merusak casing ponsel Wijaya biarpun aku yakin tidak akan seberat itu. Wijaya menerima ponselnya dengan senang hati dan langsung dikantonginya.

"Langsung saja ke intinya," kataku. "Apa yang dia katakan?"

"Janu bilang dia tidak tahu. Dia sangat tidak yakin. Katanya sendiri bahkan dia sudah tak pernah mabuk-mabukan, setidaknya dua bulan hingga tiga bulan terakhir ini, tetapi dia tidak yakin." Wijaya memiringkan kepalanya, mengangkat sebelah alisnya, mempertanyakan rasa percayaku akan alasan aneh semacam itu. "Dia tidak tahu apakah malam itu—tidak sengaja—dia kembali mabuk, ia tidak begitu ingat."

"Kau memberitahu bahwa kami memiliki dugaan jika ia mabuk sebelum membunuh kakaknya?"

"Bagaimana lagi saya harus mengatakannya, Pak? Saya rasa dia tak akan bicara apapun jika saya tak melakukannya."

"Tidak, maksudku, itu bagus."

Aku mencoba berpikir, berada dalam situasi itu. Jika aku sendirian, kemudian secara tiba-tiba seseorang menuduhku membunuh kakakku sendiri—sebenarnya aku tidak punya—dan dengan alasan yang bahkan aku pun tak mengerti, apakah memang terjadi atau tidak, aku yakin aku akan sangat kehilangan arah, tak tahu akan mengatakan apa selain 'tak tahu'. Mungkin, itu yang terjadi pada Janu. Mungkin, memang benar bahwa ia melakukan semua itu di bawah kesadarannya yang menipis, seperti dugaan kami sebelumnya.

"Lalu?" tanyaku, memastikan lebih jauh cerita yang dapat Wijaya sampaikan. Kemudian, Wijaya kembali memosisikan dirinya sebagaimana seharusnya, tak ada sakit leher akibat terlalu lama memiringkan kepalanya.

"Lalu Anda datang, Pak, di saat yang tepat," beritahunya.

Saat itu, aku tahu Wijaya sedang berbincang dengan Janu, lebih tenang dari sebelum-sebelumnya. Tak ada rasa amarah yang memuncak seperti Pak Cakra, tak ada isak tangis yang menggema di seluruh penjuru ruangan seperti yang terjadi pada ibunya. Dua orang itu—para manusia—duduk santai sebagaimana seharusnya. Tegak tanpa adanya baku hantam. Kemudian, saat aku masuk, secara spontan mereka menoleh padaku, mengikuti datangnya sumber suara. Lalu, aku yang tak ingin mengganggu pesta mereka, lebih memilih untuk bersandar pada dinding yang dingin, diam, tampak tak ada seandainya suara pintu itu tak menggagalkan rencanaku.

Sejauh yang kudengar, mereka hanya membicarakan soal 'kabur dari rumah' itu. Memang, aku yang datang terlambat tak mengikuti perbincangan mereka dari awal—alasanku ingin mendengarkan rekamannya sekarang. Namun, Janu memberikan pernyataan yang sama dengan ayahnya dengan diksi yang sedikit berbeda: mereka harus menemui saudaranya, menurut ayahnya.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang