9. Whisperer II

3.6K 507 9
                                    

Aku hanya mangut-mangut. Tidak aneh, batinku. Menyadari ada seseorang yang membuat kesaksian palsu saja membuatku kesal, kurasa aku telah menyiapkan diri untuk menerima berita yang tak ingin kuketahui seperti yang diutarakan oleh Wijaya.

"Berdasarkan kesaksian orang-orang, memang tampaknya mereka tidak menyukai Janu."

Kuturunkan kedua lenganku, ditopang oleh meja kayu yang terasa dingin. "Bagaimana mungkin? Tampaknya dia anak yang baik, kan? Maksudku, sikapnya itu, di luar dari penampilannya."

"Dia sering mabuk, mencederai orang-orang, siapapun. Anda mengerti, kan, Pak?"

Aku tak membalas pertanyaannya. Memang, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi, aku sendiri tidak benar-benar yakin. Maksudku, astaga, bahkan anak itu yang menyambut kami, mempersilakan kami untuk menyelidiki kasus ini, terbuka terhadap segala cerita yang ada. Aku tidak mengatakan bahwa Janu tidak mungkin melakukannya, hanya saja sikapnya itu benar-benar berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang kusaksikan secara langsung.

Aku menggeram. Tolol, aku baru bertemu dengannya beberapa hari dan kini aku berusaha menghindari pernyataan orang-orang yang mungkin telah tinggal di sekitarnya selama beberapa tahun, belasan tahun, atau bahkan lebih.

"Tak hanya itu, Pak," lanjut Wijaya. "Anak Ibu Dewi pun pernah diserang hingga kritis."

Aku terbelalak.

"Benarkah?"

Wijaya tak menepis keraguanku, tetapi ia terus melanjutkan ceritanya. "Meninggal karena kehabisan darah ketika ia dilarikan ke rumah sakit."

"Astaga." Aku tak dapat berkata-kata lebih banyak lagi. Bahkan, biarpun ingin kulakukan, Wijaya tak henti-hentinya menceritakan seluruh informasi yang didapatnya.

"Kasusnya tak dilaporkan. Keluarga Janu meminta maaf, memohon pada Ibu Dewi untuk tidak melaporkan kasus ini pada polisi. Tentu saja beliau tak menginginkannya. Namun, orang-orang sepakat untuk tak melaporkan kasus itu. Pertama, karena ketika itu Janu masih berumur lima belas atau enam belas tahun, lalu—"

Aku menyela, "Dia telah bermabuk-mabukan pada umur segitu?"

"Mungkin."

Kugaruk kepalaku. Aku tak menyukai ini, benar-benar tak menyukainya.

"Kedua, karena mereka tak ingin kasus ini terbuka, mereka tak ingin orang-orang merasa tempat tinggal mereka tak aman."

"Aku dapat mengerti itu."

Wijaya sendiri, sebelum beranjak dari kursinya, berkata, "Ah, saya beli makanan dulu ya, Pak!"

Tentu saja tak dapat kutolak. Aku bukan orang gila yang menginginkan seseorang mati kelaparan, apalagi di hadapanku. Selain itu, dia membayar sendiri untuk makanannya. Hanya saja, satu hal yang benar-benar masih membuatku sedikit terganggu adalah pakaiannya itu. Astaga, aku baru ingat jika jaketnya disimpan dalam mobilku, dia tak memiliki kesempatan untuk mengambilnya. Sialannya, berpuluh-puluh pasang mata terus tertuju pada Wijaya, seolah-olah ia adalah manekin yang sengaja dipajang untuk memamerkan busana. Namun, meskipun begitu, aku tetap tak dapat menyalahkan segerombolan manusia ini. Pasti, di antara mereka, sebagian besar bertanya apa yang sedang terjadi di sini. Apakah ada kasus? Perampokan, pencopetan, atau bahkan pembunuhan?

Sangat jarang mereka melihat seseorang berseragam polisi untuk datang ke tempat ini, karena memang sedikit tak wajar melihat kami yang tampak seharusnya bekerja berada di sini.

Akhirnya, aku berusaha menepis seluruh pemikiran itu. Fokus pada kasusnya, Roy!

Pernyataan yang Wijaya berikan memberikan sedikit teori baru yang mungkin bisa kubangun sekarang. Ibu Dewi memiliki motif yang cukup besar untuk melukai salah seorang anggota keluarga itu. Namun, jika ia melakukannya, seharusnya ia menimpakan seluruh perbuatannya pada adik korban, bukan? Akan lebih masuk akal jika Janu—atau siapapun di antara keluarga itu—yang melakukannya dan Ibu Dewi—yang memiliki motif kuat—sengaja memberikan kesaksian palsu, memaksa kami untuk menangkap Janu yang sangat dibencinya itu. Kemudian, dengan kebohongan bodohnya—aku yakin Ibu Dewi sangat jarang berbohong—aku dan Wijaya malah mendapatkan informasi yang lain.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang