20. Issue #173

3.8K 525 43
                                    

Ketika aku dilarikan ke rumah sakit ini, sebenarnya aku tidak benar-benar pingsan. Hiruk piruk orang-orang masih bisa kudengar melalui telingaku walaupun sedikit terdistorsi. Aku hanya berusaha meyakinkan sugestiku bahwa tidak akan ada yang terjadi. Semuanya akan berakhir baik-baik saja—pasti. Jadi, aku memejamkan mata, membiarkan semuanya mengalir, dan di saat itu pula aku tahu bahwa seseorang mengantarkanku ke tempat ini melalui kemacetan kota. Selain itu, seseorang berusaha menutupi lukaku dan memaksa darahnya untuk tidak mengalir lebih jauh.

Aku yakin akan hal itu, sebab seseorang yang menungguku sebelumnya menunjukan hal yang dapat memperkuat dugaanku. Tangannya tidak dicuci terlalu bersih. Noda merah masih menempel pada beberapa bagian yang tak dapat terlihat dengan jelas oleh mata, tetapi aku tahu.

Wijaya segera pergi begitu kuberikan ponselku, menunjukan alamat tempat Agoy tinggal semasa kerja. Sedangkan kini, suasana canggung mulai menghantuiku. Aku bertiga bersama istrinya dan Riska. Jadi, apa yang harus kulakukan? Mungkin, pada beberapa waktu, aku dapat membuka pembicaraan dengan tepat, mengalirkan suasana dengan candaan kering yang bahkan tak lucu sama sekali. Namun, tidak untuk saat ini.

Istri Wijaya pun tampaknya bukan termasuk orang yang gemar berbicara. Sewajarnya—atau umumnya—seorang wanita akan membahas seluruh pemandangan yang ada di depannya dengan habis-habisan. Namun, bahkan semenjak kedatangannya, perempuan itu belum mengatakan sepatah katapun juga. Padahal sebelumnya kami pernah bertemu.

"Wijaya yang meminta kalian kemari?" Akhirnya secara terpaksa kubuka pembicaraan dengan napas yang masih tak beraturan. Beberapa kali kubenarkan posisi sandaranku, membuat tubuhku rileks selama mungkin. Namun, bahuku terasa berdenyut seirama dengan pelipisku yang sedari tadi berkutat pada pekerjaannya. Urat-uratku tampaknya mulai timbul.

"Riska yang meminta." Akhirnya perempuan itu berkata. "Ketika dia mendapat panggilan, Riska langsung meminta untuk ikut ketika tahu bahwa Anda, Pak—"

"Roy," selaku. Sebenarnya, aku sedikit kecewa karena perempuan itu tak mengingat namaku sama sekali. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Bisa jadi memang dia tak memiliki ingatan jangka panjang yang cukup bagus, kan? Aku sendiri pernah mengetahui seseorang yang benar-benar tak dapat mengingat namaku, padahal selama tiga tahun kami selalu berada di kelas yang sama. Tentu saja karena aku tak terlalu sering bergaul dengan banyak orang, tapi jika benar-benar tak tahu namaku sama sekali? Artinya sesuatu yang salah menimpa dirinya, kan?

Istri Wijaya tampak merasa bersalah. Ia mengeluarkan senyumnya, sedikit cekikikan. Kemudian membalas, "Maaf."

"Kalian suami istri sama saja, ya? Selalu meminta maaf."

Akhirnya, kami berdua malah terkekeh bersama. Setidaknya, berita baiknya adalah semua berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada rasa canggung lagi dalam ruangan ini.

"Aku merasa tersanjung karena kalian mau datang menemuiku, padahal aku bukanlah siapa-siapa bagi kalian."

Namun, sesegera mungkin Riska menggeleng. Dia tak mengatakan apa-apa, tetapi aku mengerti akan maksudnya. Apakah hal itu menjadi alasan utama baginya untuk menjengukku?

Namun, aku sendiri tak ingin menyinggung hal yang sama. Sekeras mungkin, aku berusaha untuk tidak mengatakan apa-apa mengenai orang tuanya maupun kata-kata yang dapat menyerempetnya, kembali pada kenangan masa lalu yang pasti tak ingin diingatnya, walaupun ia tak dapat melupakannya. Jadi, aku berusaha mencari topik lain. Walaupun secara gamblang otakku kembali memberikan gambaran yang sama, aku tetap berusaha untuk mencari celah yang ada.

"Kau suka Fisika?"

Baiklah, benar-benar pertanyaan yang acak. Kenapa aku harus menanyakan hal seperti itu?

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang