12. Helix II

3.3K 512 5
                                    

Pak Cakra—nama ayah dari sang korban—memberikan gambaran yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Dengan kemeja hitamnya, senyumnya tak pudar sedikit pun. Brengseknya, semakin kususuri ruangan ini, semakin mendekatinya, aku melihat senyumannya yang semakin lebar.

Tentu, sebagai manusia biasa, aku langsung bertanya, kenapa? Hanya saja tak terucap, tidak keluar dari mulutku yang sengaja kukunci. Apapun alasannya, aku yakin hal itu adalah sesuatu yang menyebalkan. Jadi, sekali lagi, aku berusaha untuk tenang. Duduk di hadapannya.

Aku benar-benar lelah, ingin tidur, tetapi kupaksa kedua mataku untuk terbuka lebih lama lagi.

"Aku tahu kau yang akan menemuiku," jelasnya, dengan nada yang setimpal wajahnya. Terdengar yakin, tidak begitu tegas, tetapi menusuk.

"Anda tahu apa yang Anda lakukan, kan?"

Lelaki itu menggeleng.

"Tidak," katanya.

Aku melihat perubahan yang drastis dalam dirinya. Brengsek, padahal baru beberapa hari tak bertemu. Oh, sialan! Apakah artinya dia telah menunjukkan bahwa ia memang terlibat? Apakah ia merasa tak dapat berkutik lagi sehingga menyerah pada keadaan, tetapi tetap hendak membuatku tak nyaman?

"Anda meninggalkan rumah Anda. Satu keluarga." Aku berusaha tak kalah dalam mengintimidasi. Nada bicara sengaja kutekan pada bagian akhir. Mencoba mencari kebenaran. Aku tahu, suaraku itu terdengar menjijikkan—benar-benar bukan diriku. Namun, aku tak memiliki pilihan lain.

"Bisa Anda jelaskan kenapa Anda melakukannya?"

Pak Cakra—yang kini telah kehilangan senyumannya—menyandarkan bahunya, menjauhiku, berusaha terlihat santai walaupun agak percuma. Oh, aku harap rekaman di ruangan ini—melalui kamera yang terpasang di ujung ruangan—mengambil semua gambarnya. Betapa brengseknya orang ini, tak mengetahui keadaan.

Uh! Kenapa aku jadi marah-marah seperti ini?

"Pergi mengunjungi rumah saudara."

"Mengunjungi secara tiba-tiba?"

"Tentu tidak. Sudah direncanakan."

"Terburu-buru?"

"Tidak terlalu."

"Tidak terlalu terburu-buru hingga lupa mengunci pintu rumah?"

Pak Cakra membatu. Mulutnya sedikit gelagapan. Namun—tidak—dia tak mengatakan apapun, sama sekali—setidaknya beberapa detik.

Harus kuakui, dia orang yang hebat, berpura-pura terlihat santai, tenang, bahkan berhasil sedikit menakutiku. Namun, tetap saja dia tak dapat menyembunyikan semuanya. Aku yakin benar, untuk sesaat ia terperanjat akan pertanyaanku. Mungkin ia tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya.

Aku harap Wijaya merekam semuanya dengan suara yang jelas.

"Anda terburu-buru," kataku, tetap dengan nada tinggi yang mengancam. Namun, brengseknya, lelaki itu kembali mengembalikan kata-kataku.

"Mungkin," tukasnya.

"Mungkin bagaimana?"

"Mungkin memang sedikit terburu-buru hingga lupa mengunci pintu."

"Kenapa Anda terburu-buru?"

"Karena ingin segera sampai."

"Bukan karena ingin menghindari kami dan menghindari kenyataan bahwa Anda membunuh anak Anda sendiri?"

Sekali lagi, lelaki itu terperanjat. Matanya terbelalak untuk kedua kalinya, persis seperti pertama ia mendatangi tempat kejadian perkara. Namun, untuk kali ini, aku tak akan tertipu dengan tampilan wajahnya yang harus kuakui cukup baik.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang