8. Whisperer

4.4K 551 25
                                    

Terkadang, dua hal yang kontradiktif dapat memenuhi belenggu otakmu. Maksudku, segala sesuatu yang bertolak belakang, seolah merayapi seluruh pikiranmu, membuat sesuatu yang terlihat salah menjadi benar, atau sebaliknya. Bagaimana kau merasa jujur ketike berbohong, bagaimana kau merasa beruntung dan sial di saat yang bersamaan. Hal-hal semacam itu. Dan kini, tentu aku tak luput dari itu.

Aku merasa beruntung karena kemudi yang digunakan di Indonesia berada di sebelah kanan, menimbulkan pertanyaan besar atas kesaksian Ibu Dewi yang berbunyi tak sesuai dengan seharusnya. Di samping itu, sialannya semua terjadi ketika sebelumnya kami—aku dan Wijaya—hampir menetapkan seluruh anggota keluarga itu terlibat dalam sebuah pembunuhan, mencekik Agoy dengan keji dan membiarkannya duduk sendirian di dalam mobil yang terkunci.

Aku sendiri belum dapat melepaskan pemikiran itu, bagaimana mobil itu dapat terkunci. Sangat jelas, bagaimana pelaku dapat keluar dari ruangan tertutup itu. Membuat penyelidikanku bergerak berdasarkan asumsi—yang sangat kutakutkan. Lalu, sekarang ini, aku dan Wijaya hanya melakukan pengawasan yang tampaknya tak begitu penting, menunggu orang-orang untuk kembali dari pekerjaannya. Sedangkan kami? Melakukan hal-hal tak berguna. Meregangkan tubuh, mencari posisi terbaik untuk bersandar, menghalangi seluruh aliran darah yang hendak menuju kakiku karena tergencet akibat posisi duduk yang tak nyaman ini.

Kami telah duduk selama berjam-jam.

Aku dan Wijaya pun membicarakan berbagai hal yang tak penting. Bagaimana kami membenci komisaris Yudha sekaligus harus menghargainya sebagai atasan. Bagaimana Wijaya mencoba belajar bahasa Sunda dariku, karena ternyata ia sendiri belum lebih lancar dari sebelumnya. Namun, setidaknya dia telah mengerti akan apa yang orang-orang ucapkan—setidaknya jika mereka mengucapkannya pelan. Terkadang, aku sendiri masih menggodanya, mengucapkan beberapa kalimat tak berarti—atau tak ada hubungannya dengan apapun—dengan cepat dan membuatnya kebingungan. Jika hal itu terjadi, maka ia akan mendorong bahuku, dan aku akan berusaha untuk menepisnya. Tampaknya pun Wijaya telah terbiasa dengan guyonanku yang sebenarnya tak terlalu lucu itu.

Aku menggodanya, mengatakan akan membelikan kamus terjemahan Bahasa Indonesia Bahasa Sunda ketika ia berulang tahun. Dan sekali lagi, Wijaya menggerutu.

Beberapa jam terus berlalu.

Ponselku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk dan menimbulkan nada getar yang sengaja kupasang. Dokter Dalton menghubungiku.

'Saya telah mendapatkan hasilnya', katanya.

"Dokter Dalton?" terka Wijaya.

"Ya. Katanya dia sudah mendapatkan hasilnya."

"Cepat juga."

Aku setuju. Namun, bukan berarti aku dapat langsung bergembira dengan berita itu. Aku harus mengetahui hasilnya, kan?

'Bisa kau kirimkan foto hasilnya?'

Aku menekan tombol kirim. Lalu, beberapa detik kemudian, Dokter Dalton membalas.

'Tidak bisa.'

'Kenapa?'

'Anggap saja karena saya tak ingin hasil ini tersebar luas di dunia maya.'

'Aku sedang dalam tugas saat ini. Kirimkan saja fotonya.'

'Tidak aman.'

'Tenang saja, kurasa aman.'

'Ya, kecuali sang pemilik aplikasi dengan terms of agreement yang telah kita setujui sebelumnya, membuat mereka memiliki hak untuk melihat dan menggunakan foto yang kita kirimkan.'

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang