7. Break

4.5K 545 18
                                    

Tempat ini ditinggalkan dalam keadaan yang cukup rapi—setidaknya begitu sejauh mata memandang. Tak ada bekas pengrusakan, perkelahian, pembunuhan atau apapun itu. Dua buah pigura tergantung pada ruang keluarga. Yang pertama, mungkin diambil beberapa tahun lalu, kedua dua anak laki-laki yang masih kecil berdiri tepat di tengah pemotretan. Sedangkan satu lagi—yang terletak di sebelah kanan foto sebelumnya—tampak lebih baru, ketika dua anak laki-laki itu telah tumbuh dewasa. Bahkan, salah seorang dari laki-laki itu tampak mengenakan topi sarjana, berpakaian rapi. Kurasa potret itu diambil tepat ketika wisuda anak laki-laki itu digelar. Sedangkan sang pasangan suami istri tak begitu berubah selain pakaian mereka yang berganti.

Aku tidak mengerti bagaimana mereka semua dapat tersenyum di dalam foto.

Kamar-kamar mereka—ada empat—ditinggalkan begitu saja dalam keadaan rapi, tampak tak tersentuh, membuatku berasumsi mereka pergi sebelum waktu tidur—mungkin pukul sepuluh malam, tergantung waktu tidur mereka. Namun, tak adanya bekas paksaan untuk masuk ke dalam rumah ini, tampaknya mereka memang pergi atas kesadaran mereka sendiri—sebuah keharusan.

Wijaya berjalan mendahuluiku, menggerakan kaki-kakinya di antara keramik dingin. Suara sepatunya menggema, yang kuyakini menimbulkan lantunan indah pada setiap telinga orang yang mendengarnya. Sedangkan aku—perhatianku—lebih tertarik pada keminimalisan rumah ini. Luas, tetapi tak begitu banyak pernak-pernik yang dipasang. Bahkan, tampaknya dua foto keluarga itu—yang sengaja di pajang di tengah ruangan—tampaknya menjadi satu-satunya ornamen tambahan yang diletakkan di rumah ini.

Kami membiarkan rumah ini dalam keadaan terbuka—tak terkunci—seperti sebelumnya. Bahkan, kunci rumah ini masih menggantung dengan jelas, terpaku pada lubang kunci berwarna kuning mengilap, seolah-olah memang sengaja diletakan di sana.

"Anda berpikir orang-orang ada di rumah, Pak?"

Kuangkat sebelah alisku sembari terus berjalan. Kemudian, menyadari betapa bodohnya diriku—Wijaya tak akan melihatnya. Jadi, aku menanyakannya kembali. "Kenapa?"

"Saya rasa orang-orang sedang bekerja saat ini."

"Kecuali orang-orang yang menghuni rumah ini," kataku. "Kurasa berharap saja setidaknya ada satu atau dua orang yang dapat kita datangi."

Lalu, setengah sadar, kuteguk ludahku, merasakan sisa-sisa rasa hambar mengaliri tenggorokanku. "Seperti Ibu-ibu itu."

Wijaya menghentikan langkahnya. "Ibu-ibu yang mana?"

"Aku tidak sedang menunjuk seseorang." Kini, posisiku sejajar dengan Wijaya. Ketika ia berhenti, aku terus berjalan. Memang, kata 'itu' yang kumaksud merujuk pada hari kemarin, bukan seseorang yang tiba-tiba kutemui di hadapanku.

"Ibu Dewi," kataku, menjelaskan lebih lanjut, membuat Wijaya ber-o ria, sembari tertawa kecil menyadari kebodohannya.

Ya, untuk seorang wanita yang cukup tua, jika dia bukan seorang pegawai negeri sipil, kurasa tak ada alasan yang berarti untuknya bekerja. Bukan maksudku untuk merendahkan derajat wanita. Namun, melihat penampilannya kala itu, kurasa perempuan itu pun berprofesi sebagai ibu rumah tangga, merapikan seluruh properti yang ada di rumah, melakukan berbagai kegiatan berat lainnya. Mencuci, memasak, lain-lain yang mungkin hampir tak pernah kulakukan. Atau mungkin memang tak pernah.

Ketika Wijaya mengikuti pergerakanku setelah menyadari kebodohannya, aku meberitahunya, "Kita menuju rumah dengan cat berwarna itu dulu." Lalu, segera setelahnya, kubuat jeda beberapa saat untuk kusambung dengan sebuah pertanyaan. "Kau memiliki ide, pertanyaan apa saja yang harus kita tanyakan pada mereka?"

Wijaya memutar bola matanya ke segala arah, mungkin dua atau tiga kali, tak begitu kuperhatikan. Namun, yang pasti, ia menjawab. "Mungkin tentang mengetahui ke mana perginya Janu dan orang tuanya?"

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang