21. Ending

4.1K 497 30
                                    

Semuanya terasa antiklimaks. Sungguh. Pak Cakra telah tiada, dan tak ada seorang pun yang dapat menginterogasinya kecuali segelintir orang yang mengaku bisa berbicara dengan arwah. Janu pun hampir tak dibebaskan seandainya kesaksian ibunya tak dapat menguatkannya. Namun, satu hal yang belum kubereskan. Siapa orang itu? Siapa yang menembak kakiku itu?

Kesaksian sang ibu hampir sama seperti Janu. Setidaknya, dengan beberapa tambahan akan pengakuan suaminya—sebelum ia meninggal—mengenai seluruh pembunuhan itu. Bagaimana sang suami meyakinkan dirinya juga Janu bahwa pelakunya tak lain adalah Janu. Walaupun pada kenyataannya tentu tak seperti itu.

Beberapa temuan yang Wijaya dapatkan dari tempat tinggal sang korban pun—Agoy, maksudku—mampu menguatkan motif yang dilakukan oleh Pak Cakra. Sejumlah utang, pengeluaran yang sangat besar dan tak mampu menutupi kebutuhan sehari-harinya, membuat Wijaya yakin bahwa motif utama yang terjadi atas pembunuhan itu adalah uang.

Agoy tidak sebaik apa yang orang tuanya pikirkan.

Di saat kesulitan, ia mencoba meminta bantuan orang tuanya, meminjam sejumlah uang. Namun, tentu itu semua hanya dugaanku. Tetapi, bukan tanpa dasar yang jelas. Pada beberapa dokumen, Wijaya menemukan sejumlah catatan mengenai pengeluaran biaya, utamanya pada judi, permainan saham yang semakin memburuk, tak lepas juga sejumlah peminjaman uang pada beberapa rentenir. Agoy semakin pailit, setidaknya itulah yang terjadi pada dirinya.

Sang istri sendiri tidak mengetahui seluruh kejadian itu hingga akhirnya Pak Cakra terpaksa secara terang-terangan membuka semuanya, memaksanya pergi untuk kedua kalinya, menghindari para debt collector yang kapan saja bisa mengunjungi rumahnya. Tentu, sebuah pernyataan yang sangat mencengangkan, membuat perempuan itu tak dapat berkata apa-apa selain merasakan ketakutan yang mulai menjalar melalui pori-pori tubuhnya.

Aku tidak tahu bagaimana cara mereka akan membayarnya. Aku ingin membantu, tetapi sialannya jumlah uangnya tak sedikit, hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, pengabdianku hingga seratus tahun saja tampaknya tak akan cukup—tentu dengan memperhitungkan biaya makan dan sehari-hari.

Demi apapun, aku merasa sangat tolol. Aku menggiring opini orang-orang ke arah yang salah. Dan sialannya, aku pun secara tak langsung tergiring atas pernyataan orang-orang yang tak kucek untuk kedua kalinya.

Aku ingat, ketika Pak Alvin mengatakan bahwa Agoy adalah orang yang baik, selalu menelepon keluarganya, hampir setiap hari. Betapa bodohnya aku untuk tak memeriksanya ulang. Maksudku, bagaimana mungkin Pak Alvin bisa tahu detail pembicaraan yang mereka lakukan? Dia mengatakan itu hanya berdasarkan asumsi, bagaimana kebanyakan orang akan menelepon keluarganya, menunjukan rasa kangen, dan ternyata itu tak terjadi pada Agoy. Dia melakukan hal yang sebaliknya. Dia memang menelepon keluarganya hampir setiap hari—mungkin hanya ayahnya saja—tetapi untuk hal yang lain.

Aku benar-benar merasa tolol ketika mendengar pernyataan mereka, betapa berandalnya Janu, betapa brengseknya anak itu hingga mampu melukai orang-orang yang berada di sekitarnya, membunuhnya secara tak langsung. Maksudku, ya ampun! Bahkan pengembala domba yang sering berbohong pun pada akhirnya berkata jujur, kan? Bagaimana ia menangis kehilangan domba-dombanya karena tak ada seorang pun yang memercayainya, dan aku merasa menjadi salah satunya.

Ketika Ibu Dewi mengatakan bahwa Janu sering mabuk-mabukan, betapa cepatnya aku menyimpulkan kasus itu tanpa menyelidikinya lebih dalam lagi. Bagaimana aku merasa begitu sempurna, tidak merasakan sebuah kesalahan, dan bagaimana pada kenyataannya ternyata aku salah besar.

Stereotype memang buruk. Tetapi, demi apapun, kenapa hal itu selalu saja terjadi?

Aku mulai berpikir, apakah seharusnya selama ini aku tidak hanya memikirkan kemungkinan kejadian yang terjadi pada sebuah kasus? Bagaimana dengan kemungkinan yang tak mungkin terjadi? Bagaimana jika seharusnya aku memberikan gambaran yang lebih jelas, mematahkan argumenku sendiri hanya untuk memastikan semuanya benar?

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang