4. Doorpost

6K 621 30
                                    

Sebagai manusia normal, atau mungkin agar terlihat umum, tentu 'menunggu' adalah sebuah pekerjaan yang sangat membosankan. Aku yakin, tak hanya diriku saja yang setuju akan hal itu, bahkan mungkin sembilan puluh sembilan persen populasi di dunia ini akan setuju dengan pendapatku. Pernyataanku itu tentu saja tak lepas dari waktu menunggu hasil autopsi untuk keluar, membiarkan Dokter Dalton bekerja secara teliti untuk memberikan hasil yang terbaik, membuat kami—aku dan Wijaya—mencoba melakukan investigasi sebelum akhirnya kami dapat meyakinkan diri kami bahwa kasus yang tengah terjadi ini bukanlah bunuh diri, melainkan sebuah pembunuhan.

Sejujurnya, keluarga yang tak kooperatif membuat pekerjaan kami semakin berat. Untung saja, saudaranya—dengan lengan kirinya yang dipenuhi tato—tampak lebih berguna daripada yang kuduga. Ia ramah, diluar dari ekspetasi kami, membuyarkan seluruh anggapan kami bahwa setiap orang yang terlihat seperti seorang preman adalah antagonis untuk setiap kehidupan manusia. Janu memberikan kesempatan pada kami untuk mengakses ponsel kakaknya itu. Namun, tentu tidak semudah itu. Ponsel itu dikunci, memaksaku untuk membukanya secara paksa, meminta bantuan beberapa ahli teknologi untuk membuka kuncinya itu—tentu saja, siapa sih yang ingin bertanya pada mayat mengenai kunci ponselnya?

Agoy, itulah nama korban, atau mungkin lebih tepat nama panggilannya. Nama aslinya sendiri Yoga, dan aku dapat mengerti kenapa pada akhirnya orang itu dipanggil Agoy.

Akhirnya, aku mendapati kenyataan bahwa sang korban merupakan seorang kepala distributor di sebuah perusahaan yang cukup besar. Tidak begitu terkenal, tetapi cukup besar. Perusahaan yang bergerak pada alat rumah tangga—walaupun perusahaan asing. Namun, untuk detailnya sendiri, belum kudapatkan secara jelas karena Dokter Dalton meneleponku terlebih dahulu, memaksaku untuk melaju dan bergerak ke sini alih-alih mencari tahu mengenai kehidupan sang korban. Ya, walaupun begitu, setidaknya atasan korban telah membuat janji denganku. Bahkan, atasannya itu sendiri pun tampak kaget begitu mendapatkan berita yang kukabarkan, membuatnya terlihat antusias untuk mengobrol denganku, mengungkapkan kenyataan.

Di samping itu, Wijaya memikirkan hal yang tak kalah pentingnya, mencoba memikirkan segala kombinasi kejadian yang mungkin. Alasan mengapa Agoy berkendara menggunakan mobil ayahnya, padahal ketika kami mengunjungi rumah orang tua korban, Avanza hitam besar dengan kondisi yang lebih baik dari mobil itu terpampang secara nyata di halaman rumahnya. Selain itu, berdasarkan kesaksian saudaranya, mobil itu memang mobilnya walaupun hanya mobil kantor.

"Saya rasa dia adalah orang yang memikirkan penampilan, Pak," katanya. "Gaya berpakaiannya cukup modis, rambutnya ditata rapi, kenapa dia tidak menggunakan mobilnya sendiri? Biarpun itu mobil kantor, tapi bukan mobil dinas, kan? Seharusnya sang korban menggunakannya."

"Kita sendiri tak tahu apa yang dilakukan korban sebelum ia tewas, Wijaya. Bagaimana jika sebelumnya ia akan bertemu dengan seseorang sehingga ia memperbaiki penampilannya?"

Wijaya mengayunkan kedua alisnya, menyadari sebuah kesalahan dalam kalimatku. "Kalau begitu tampak lebih aneh. Karena jika memang ia akan bertemu seseorang yang begitu penting hingga ia memperhatikan penampilannya, seharusnya ia juga memperhatikan kendaraan yang digunakannya. Selain itu, untuk apa dia menggunakan mobil orang tuanya sedangkan ia sendiri telah memiliki mobilnya sendiri?"

Benar juga. Gaya berpakaian yang modis, serta kendaraan yang dipilihnya itu benar-benar kontradiktif. Jadi, jika memang aku tak dapat menemukan alasan yang jelas untuk hal yang bertolak belakang itu, maka hanya ada satu kesimpulan yang dapat kuraih: karena memang bukan sang korban yang memilih mobil itu. Brengseknya, kesimpulan itu hanya akan merujuk pada satu masalah lain, mengapa seseorang memilih mobil itu dan bagaimana cara mereka mendapatkannya?

"Pak," Wijaya membuyarkan seluruh lamunanku. Otakku seolah-olah terhenti, tak bergerak hanya karena sapaannya padaku. Namun, begitu menoleh, Wijaya tampak segan untuk melanjutkan kalimatnya. Mulutnya kaku, hampir tak bergerak, bahkan butuh beberapa detik hingga akhirnya ia menguatkan tekadnya. "Ini hanya asumsi saya. Tapi saya rasa sang ayah dari keluarga itu membunuh anaknya sendiri."

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang