5. Clutch

4.9K 572 34
                                    

Pertemuan yang kulakukan tidak berlangsung cukup lama, mungkin hanya sekitar satu jam, bahkan kurang dari itu. Entah karena keegoisanku yang begitu tinggi hingga terlalu berharap bahwa orang itu—atasan dari sang korban—memiliki sesuatu yang cukup kuat hingga bisa kututup kasus ini dengan segera, atau mungkin karena rasa ketidakpuasanku akan lontaran kalimatnya yang tidak begitu mengejutkan, selain struktur organisasi perusahaan yang terlihat sangat sederhana.

Aku kembali melintasi jalan tol di bawah teriknya matahari yang memanggang aspal. Speedometer mobil menunjukan angka 120. Aku melanggar peraturan di mana seharusnya kuturunkan kecepatan hingga 80 kilometer perjam, tetapi kakiku tak ingin melakukannya. Sekali saja kulepaskan pedal gas, maka secara otomatis ujung kakiku akan menginjaknya kembali, seolah-olah sebuah kutukan merayapi kakiku.

Wijaya kini menggantikanku, duduk pada bangku penumpang sambil membersihkan kuku-kukunya. Walaupun begitu, matanya bergerak ke segala arah meskipun pandangannya lebih sering mengarah keluar jendela, memperhatikan lukisan jingga yang terbentang di atas cakrawala. Memang, hari sudah mulai sore. Bahkan, kurasa terlalu cepat hingga aku sendiri pun tak menyangka bahwa sebentar lagi sang mentari akan turun dari tahtanya.

Kami melakukan satu kali pemberhentian untuk mengisi bensin sekaligus mengisi perut kami. Aku yang merasa tidak begitu nyaman ketika harus terburu-buru lebih memilih untuk membeli roti dalam kemasan. Sedangkan Wijaya tak kuasa menahan laparnya, memilih untuk memakan makanan berat, membuatku terpaksa menunggunya untuk menghabiskan seluruh jajanannya. Tapi, hey, roti pun makanan berat, bukan? Aku tak mengerti mengapa orang-orang Indonesia—khususnya di pulau Jawa—menganggap seluruh makanan selain nasi bukanlah makanan berat.

Seperti tebakanku sebelumnya, aku berhasil sampai kantor sekitar empat jam kemudian. Sedikit bersyukur karena besok adalah awal dari minggu yang baru, membuat orang-orang Jakarta kembali menuju kotanya, meninggalkan Bandung dalam keadaan sepi—lebih lancar dari yang kuduga.

Pengatur suhu mobil berdengung beberapa detik sebelum kumatikan mesinnya. Kemudian, Kulepaskan sabuk pengaman dan sedikit berlari kecil. Sebelumnya, telah kupastikan bahwa seseorang—entah siapa—yang mengaku melihat pelaku pembunuhan itu berada di kantor kepolisian. Setidaknya, itulah yang dikatakan petugas yang menghubungiku.

Wijaya mengikutiku dari belakang. Bedanya, dia tidak berlari kecil. Wijaya begitu santai, bahkan sempat-sempatnya memasukan kedua lengan ke dalam saku. Namun, bukan alasan yang tepat bagiku untuk tak terburu-buru. Maksudku, ya ampun, aku tak suka membuat orang menunggu.

Bagian penerima aduan masyarakat menjadi tujuan utamaku, menanyakan orang yang kumaksud. Namun, dengan segera, sang penjaga tampaknya tahu tujuanku. Bahkan, tanpa perlu menyelesaikan seluruh pertanyaanku, sang penjaga mengulurkan lengannya lebih dulu sambil melepaskan jempolnya, menunjukkan orang yang kumaksud. Tentu saja dengan spontan aku berbalik, menemukan wanita baya, mungkin hampir masuk 50 tahun sedang duduk dengan anggunnya. Kedua lutut ditutupnya, sedangkan baju ungu dengan model yang tak kukenal, tampak menunjukan bahwa ia adalah seorang ibu-ibu dan membuatnya terlihat mencolok. Berbeda dan menarik. Walaupun tentu saja kerutan di wajahnya tak dapat menyembunyikan semua hal itu.

Tanpa basa-basi, aku berjalan mendekatinya, membuat perempuan itu berdiri dengan segera. Kujulurkan lenganku, memperkenalkan diri dan wanita itu pun memberikan rekasi yang sama. Dewita namanya, tetapi kusapa sebagai Bu Dewi karena umurnya yang terpaut cukup jauh denganku—mungkin. Wijaya pun melakukan hal yang sama.

Sebagai sang tuan rumah, kupandu orang tua itu menuju ruanganku, mengambil jalur kanan dari persimpangan depan, mengarahkannya ke lorong yang sedikit remang-remang akibat lampu yang tak dinyalakan. Kemudian, berbekal kunci yang hampir selalu kubawa setiap saat, kubuka pintu itu, membuat ruangan pengap terbuka untuk dimasuki siapapun, walaupun tetap saja harus seizinku.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang