3. Shots Fired

5.8K 658 18
                                    


Aku dan Wijaya saling bertatapan. Walaupun begitu, kami tak mengucapkan sepatah katapun meski tampaknya aku mengerti akan apa yang sedang menjalar di dalam otaknya. Mulutnya memang tak bergerak, tetapi aku tahu benar bahwa ia tengah berusaha meyakinkanku, memaksaku untuk menunjukkan kebenarannya bahwa mayat ini—sang lelaki yang telah terbujur kaku—tidak dapat dikatakan bunuh diri biarpun seluruh situasi tampaknya sangat mendukung hal itu.

Wijaya sempat berkata bahwa ia melihat bintik kecil pada mata korban, kemungkinan besar akibat pembuluh yang pecah karena cekikan kuat yang melintang di sepanjang lehernya. Aku sendiri tak yakin apakah bintik kecil itu diakibatkan oleh cekikan kuat atau karena karbondioksida yang memenuhi mobil membuat pernapasannya terganggu, memaksa darah untuk mengikat karbondioksida, bukannya oksigen, mengurangi jumlah pasokan oksigen yang tersedia untuk dikirimkan ke otak. Yang pasti, tanda itu memang ada.

Aku sendiri tidak mungkin menyalahkan mereka, menganggap mereka tak ingin berkooperatif dan dengan wewenang yang sengaja kuada-adakan, kuperintahkan mereka untuk mundur, berbalik, kemudian pulang dan membiarkan seluruh pekerjaan yang ada di sini diurus oleh pihak kepolisian. Bagi kebanyakan orang, terlebih lagi orang-orang Indonesia, membiarkan salah satu anggota keluarga meninggal dalam keadaan utuh adalah suatu keharusan—setidaknya hampir seperti itu. Aku yakin, dalam benak mereka, jika seandainya autopsi dilakukan pada salah satu anggota keluarga mereka ini, mereka akan menerimanya dalam keadaan tak utuh, terbongkar mulai dari belahan dada hingga perutnya, yang padahal kurasa dokter yang bersangkutan—kemungkinan besar salah satunya Dokter Dalton—hanya perlu memeriksa bagian paru-parunya. Namun, tetap saja mereka akan menerima anggota keluarga mereka itu dalam keadaan yang tak utuh—yang mereka pikirkan.

Sang ayah menatap kami bagaikan penjahat yang telah terkepung. Dadanya membusung dengan raut wajah yang tak menyenangkan. Alisnya menajam. Sekali lagi, ia berkata, "Saya tak dapat membiarkan hal itu dilakukan pada anak saya."

Aku mencoba untuk bersikap tenang. Menarik napas sedalam mungkin, menjernihkan pikiran dan mencoba untuk fokus pada permasalahan yang ada. Dalam benakku, kuusahakan muncul visualisasi laut dengan desiran ombak yang menenangkan—sekadar berusaha—dan kuharap dapat membantuku untuk tak ikut membusungkan dada—tindakan yang tercela dalam situasi ini.

"Kami hanya perlu memeriksa penyebab kematiannya, Pak," jelasku.

"Dia meninggal karena kekurangan oksigen, kan? Untuk apa memeriksanya lagi?"

Bedebah. Pasti sang petugas yang menjemput mereka mengatakan hal itu.

"Ada kemungkinan lain, Pak." Aku tetap berusaha untuk tenang. Aku telah melakukan hal yang sama seperti ini, berkali-kali, semuanya tidak membuatku menjadi lebih baik. Semua orang pun tahu betapa sulitnya untuk melakukan pekerjaan ketika seseorang berusaha menghalangi, kan? Terlebih lagi, posisiku sekarang memaksaku untuk tetap bertindak halus. Padahal, jika aku tidak terikat dengan instansi manapun, menjadi seseorang yang gila misteri dan selalu mencium bau kasus baru, pasti telah menghantam kepala lelaki itu dengan batu, membuatnya pingsan dan membiarkanku untuk bekerja dengan caraku sendiri. Sayangnya keadaan ini tak seperti itu.

"Saya tetap tak mau!" bentaknya, semakin keras. Aku yakin suaranya itu dapat terdengar sampai kerumunan polisi yang tengah berdiskusi mengenai kasus ini—mungkin. Terbukti bahwa para polisi itu—petugas yang tak kukenal satu persatu-satu—memalingkan wajahnya karena teriakan sang ayah.

Aku hampir putus asa. Menghadapi orang yang keras kepala bukanlah keahlianku. Biasanya, jika tak berakhir dengan 'tanpa' keputusan yang jelas, aku akan menghajar wajahnya dan membungkamnya. Tentu hal itu sangat jarang kulakukan walaupun pernah. Namun, seolah menyadari bahwa keadaan semakin tak baik, Wijaya menyela.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang