Teori kekacauan.
Aku pernah membaca beberapa artikel mengenai hal itu, bagaimana sebuah tindakan kecil yang tampaknya tidak begitu berarti ternyata memiliki dampak yang lebih besar dari yang kuduga. Bagaimana kepakan-kepakan kecil sayap kupu-kupu dapat menimbulkan tornado besar yang melintas di berbagai belahan dunia. Tentu, tak hanya itu, teori kekacauan pun dapat terjadi di mana saja, kapan saja, tanpa ada seseorang yang mengetahuinya sebelum ia mengalaminya sendiri.
Seorang pria berperawakan besar dan tinggi hadir begitu saja di hadapanku, mengenakan topi hitam berlidah yang menutupi sebagian besar wajahnya. Ia berdiri, berbalik, namun selanjutnya melakukan gerakan yang tak pernah kusangka sebelumnya.
Lelaki itu mengeluarkan pistol, mengarahkannya padaku, menembak dengan segera sebelum berhasil kuambil pistol yang tengah menelungkup di dalam sabuk pistolku.
Rasanya? Sakit. Sungguh. Aku tak pernah tertembak sebelumnya, dan seluruh perasaan ini menjawab segalanya. Aku langsung ambruk ketika kaki kananku merasakan setruman dahsyat. Aku berteriak—pasti—tak kalah kerasnya dari suara letusan senjata api yang pria itu keluarkan.
Aku ingin mengecam, tetapi mulutku terlalu sibuk untuk merintih kesakitan. Secara otomatis kedua tanganku kugerakan, menutupi luka yang ada. Namun, percuma, darah telah mengalir ke mana-mana, yang ada, kedua lenganku malah terbaluri oleh cairan kental berwarna merah gelap dengan bau amis yang tak menyenangkan.
Aku meringkuk, masih berteriak. Memejamkan mata beberapa kali. Sialan! Sakit sekali!
Sang satpam tak melakukan apapun. Dia kebingungan, tak dapat mengambil langkah yang tepat akibat kejadian yang begitu tiba-tiba ini. Sedangkan pria yang menembakku tadi keluar melalui jendela kamar. Aku sendiri tak melihatnya dengan jelas, hanya samar-samar. Kedua mataku terlalu sibuk untuk melihat kakiku yang terluka.
Aku meronta-ronta. Oh, sialan! Lebih sakit dari yang kuduga! Apakah tulangku remuk? Apakah pendarahan ini dapat dihentikan? Beberapa pertanyaan terus terlintas dalam benakku ketika kusadari bahwa di ruangan itu, sang pria yang menembakku benar-benar telah pergi, meninggalkan Pak Cakra dan istrinya tergeletak tak berdaya.
Beberapa orang mulai mengerumuni tempat ini. Biarpun lelaki itu menembakkan pistolnya dengan peredam yang terpasang, kurasa suaranya tak menghilang seratus persen. Begitu pula dengan teriakanku yang jelas akan membangkitkan rasa penasaran mereka. Namun, aku tetap tak peduli. Aku sedikit berguling, menelungkup, memeluk kakiku yang terluka. Darahnya terus mengalir keluar membasahi keramik putih yang semakin ternoda.
Akhirnya, aku mencoba duduk. Seketika itu juga, rasa nyeri mulai menjalar melalui kakiku, menelusup melalui berbagai organ tubuhku. Bahkan, otakku merasakan sakit yang luar biasa. Sekali lagi, aku merintih di antara kerumunan orang-orang yang terus menanyakan hal apa yang baru saja terjadi.
Aku berusaha untuk tenang, memperbaiki aliran pernapasanku. Masih baik orang itu tak menembak jantungku. Aku tidak sedang memakai rompi anti peluru, dan semuanya bisa berakhir sangat buruk seandainya lelaki itu menembak jantungku. Namun, satu pertanyaan lanjutan harus terukir kembali dalam benakku.
Kenapa lelaki itu menembak kakiku? Mungkin, ia bukan profesional. Namun, menembakku dari jarak yang bahkan tidak lebih dari lima meter ini, siapapun itu, dapat menjadikan dadaku sebagai sasaran utama. Maksudku, hei, ukuran badanku bukankah lebih besar dari ukuran kakiku? Aku mengerti jika ia tak menembak kepalaku, tetapi kenapa tidak dengan tubuhku?
Akhirnya, seorang penghuni berinisiatif untuk mengantarkanku ke rumah sakit. Beberapa orang mengangkat tubuhku, menggendong tubuhku di saat kesadaranku mulai menurun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]
Mystery / ThrillerSesosok mayat lelaki ditemukan dalam sebuah mobil yang terkunci, membuat orang-orang berasumsi bahwa sang lelaki bunuh diri. Walaupun begitu, ternyata kasus tersebut tak sesederhana yang diduga. Roy dan Wijaya menyelidiki kasus tersebut, menyimpulka...