Napas Janu menggebu-gebu. Bahunya naik turun secara beraturan dalam tempo yang lambat. Perutnya, aku yakin sedang terkocok akibat pertanyaanku yang tiba-tiba mendarat di telinganya. Bola matanya sendiri bergerak tak menentu arah, bagai pesawat ulang-aling yang kehilangan kendali tanpa awak. Dia gelisah, tak tenang, seluruh gerak-gerik yang terjadi pada raganya menunjukkan hal itu.
Aku meminta sipir yang mengantarku sebelumnya untuk membukakan sel, memberikanku kesan tersendiri untuk tinggal di dalam sel ini beberapa saat. Walaupun begitu, tetap sang sipir tak meninggalkanku, ia berdiri di depan sel sebelum akhirnya aku memintanya untuk pergi sejenak.
"Ada yang ingin kuobrolkan dengannya, sedikit pribadi," kataku, membuat sang sipir tak memiliki pilihan lain selain menyingkir. Walaupun tak begitu jauh, setidaknya aku tak dapat melihatnya berada di depan sel ini.
Janu sendiri tak berusaha untuk kabur. Percuma—mungkin itu yang dipikirkannya. Alih-alih demikian, Janu malah mempersilakanku masuk begitu saja, bagaikan seorang tuan rumah yang sebenarnya adalah seorang kanibal, membiarkan mangsanya masuk dengan senang hati.
Keadaan sel ini tak lebih baik daripada lorong gelap tadi. Hampir tak ada bedanya selain suasana yang lebih lembap. Bahkan, aku tak yakin orang-orang yang mendekam di tempat seperti ini dapat melewati malam-malamnya tanpa mengeluh. Tak ada angin yang berembus pun, suhu di ruangan ini tetap mampu menusuk tulang, membuatku merasa linu dan merasa enggan untuk bermalam di tempat ini seandainya tak terpaksa.
Janu duduk di atas kasurnya yang keras, sedangkan aku lebih memilih untuk bersandar pada sisi yang lain. Dari kejauhan, dapat kudengar tahanan-tahanan yang lain mengeluarkan kata-kata kasar—di antaranya nama hewan—karena melihat satu pintu sel yang terbuka. Memang, sialan, tahanan yang berada di depan sel Janu ini memiliki mulut yang tak dapat dijaga. Beritanya tersebar luas pada para tahanan yang lain. Mereka protes, mengapa hal yang sama tak dilakukan pada selnya. Namun, aku tak mendengar penjelasan apa-apa dari sang sipir, begitu pula denganku yang merasa memiliki pekerjaan yang lebih penting.
Menit-menit pertama kami habiskan dengan berdiam diri, tak sepatah katapun juga muncul dari mulutku maupun mulut Janu ketika kujejalkan kaki di dalam sel ini. Walaupun begitu, Janu tetap tak melepaskan pandangannya dariku. Di lain pihak, otakku sedang bergumul, terus memikirkan kalimat pertama apa yang harus kulontarkan. Apakah aku tetap harus bersikukuh pada pertanyaan awalku tadi atau mulai memberitahunya bahwa mungkin ada kesalahan dalam kasus ini?
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Jadi?" Kumulai pembicaraan, mengangkat bibir bagian atasku. "Kau tahu apa yang terjadi antara saudara dan ayahmu itu, kan?"
Akhirnya, Janu menunduk. Jari-jari tangannya dimainkan, mengetukannya ke atas kasur. Lalu, dalam sekejap, dia kembali memosisikan dirinya pada keadaan semula.
"Memangnya kenapa?"
"Aku hanya ingin memastikannya."
"Untuk apa?"
Aku menelan ludah. Tak berasa.
"Memastikan kau tidak bersalah."
Janu terkejut—sangat terkejut. Alisnya menajam dan dia mulai berdiri, meninggalkan kasur tak empuknya itu. Sedangkan kedua kakinya mulai diangkat secara perlahan, mendekatiku.
"Apa?" tanyanya. "Bagaimana mungkin?"
"Aku tahu semua ini terdengar aneh, tapi aku memerlukan bantuanmu."
"Kau menuduhku, baru beberapa hari ini keputusan bersalah ditimpakan padaku, dan sekarang kau bilang aku tidak bersalah?"
"Mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]
Mystery / ThrillerSesosok mayat lelaki ditemukan dalam sebuah mobil yang terkunci, membuat orang-orang berasumsi bahwa sang lelaki bunuh diri. Walaupun begitu, ternyata kasus tersebut tak sesederhana yang diduga. Roy dan Wijaya menyelidiki kasus tersebut, menyimpulka...