Sudah hampir seminggu dan tak ada kabar yang mengembirakan. Aku merasa seperti seonggok daging yang dibiarkan busuk, tak berguna dan tak berbuat apa-apa. Aku tidak mengatakn bahwa penyelidikan ini kuhentikan, tetapi kasus ini sendiri tak mengalami perkembangan yang signifikan.
Aku dan Wijaya sudah menetapkan seorang tersangka—Janu—tinggal menunggu saatnya di mana seseorang akan menemukannya, melaporkannya pada kami dan membawanya kembali. Aku tak pernah tahu bahwa mereka akan bersembunyi dengan cukup baik.
Salah satu kekurangan yang membuat mobilitas kami terbatas adalah karena sedikitnya informasi tentang keluarga itu. Sialannya, aku tak akan mendapatkan rekam jejak kehidupan mereka selama mereka belum melakukan kejahatan. Dan hingga pembunuhan itu terjadi, mereka belum melakukannya. Bahkan, belum untuk beberapa saat setelah pembunuhan itu terjadi. Terkadang, aku merasa benar-benar tolol, membiarkan mereka pergi hanya sehari setelah kasus itu terjadi.
Ah, ya, tentang sebelumnya. Memang, aku benci mengatakannya, tetapi aku tak akan dapat menelusuri kehidupan mereka sebelum mereka mencatatkan diri pada kasus kejahatan. Sejujurnya, aku selalu berharap bahwa orang-orang ini dapat kutelusuri kapanpun, di manapun. Namun, tentu saja tak mungkin kupublikasikan keinginan itu, membuat mereka merasa hidupnya selalu dimata-matai, tak memiliki privasi, padahal itu semua pun demi kebaikan mereka sendiri, kan? Aku tak peduli dengan kehidupan mereka, aku hanya peduli ketika suatu kejahatan—yang seharusnya tak terjadi—terjadi.
Hari-hari terakhir lebih sering kubuang untuk di rumah. Tentu, segala pekerjaan administrasi, di luar dari penyelidikanku kulakukan di kantor, tetapi tak lebih dari itu. Suasana hatiku sedang tak terlalu baik, kurasa aku tak dapat berkomunikasi dengan siapapun untuk sementara waktu, membuatku terpaksa mengurung diri di rumah. Selain itu, Loka sedang sekolah, tak akan ada yang menggangguku.
Di atas ranjang, aku berbaring. Dengan kaus putih oblong dan celana pendek—lebih atas sedikit dari lutut—aku tampak seperti orang yang baru bangun dari tidur, padahal sekarang sudah pukul dua siang. Namun, pikiranku tak jauh dari Janu.
Aku tidak mengerti bagaimana kasus ini akan berakhir untuknya. Maksudku, ya ampun. Bukankah dia tak menyadari hal itu? Bukankah dia tak bermaksud membunuh kakaknya? Bagaimana persidangan akan menuntutnya? Ya, itu pun jika seluruh kebenaran kasus ini mirip seperti teori yang aku dan Wijaya buat, sih.
Kugulingkan diriku ke sebelah kiri, memandangi jendela yang menyinari kamar ini—sudah kukatakan sekarang pukul dua siang.
Apakah orang dapat berubah?
Aku tidak tahu secara tepat. Dalam kasus ini, mungkin tidak. Namun, melihat gelagatnya kala itu, tampaknya Janu belum menyadari bahwa dia sendiri yang membunuh kakaknya. Aku tak dapat membayangkan bagaimana kedua orang tuanya itu menceritakan semuanya. Oh, astaga. Aku tahu, orang-orang telah menempelkan stempel 'Anak gila brengsek bedebah yang tak pantas hidup' di dahinya. Tetapi aku yakin dia tak sepenuhnya seperti itu. Setidaknya, kelakuannya itu merupakan penyimpangan sosial yang sudah beredar umum di masyarakat. Dia bukan pembunuh gila atau sang pelanggar peraturan yang selalu merasa dirinya benar. Maksudku, dia masih mendapatkan simpatiku.
Dalam bayang-bayang, kurasa aku dapat melihat dirinya beserta keluarganya. Bagaimana mereka dihadapkan dalam kondisi yang canggung, tak dapat dipercaya. Bagaimana ketika anak itu baru saja selesai menyantap mie instan, orang tua mereka menceritakan kebenaran yang ada.
Aku naif jika mengatakan bahwa diriku tak sensitif.
Kubalikan posisiku semula, kembali menghadap langit-langit kamar.
Aku sendiri berasal dari keluarga yang tidak begitu baik. Kedua orang tuaku bercerai dan aku mengikuti ibuku. Ia menikah lagi dengan seorang laki-laki yang harus kuakui memang tampan. Seluruh jari-jarinya mengeras—suami barunya pekerja kasar. Dia senang menggunakan kemeja putih, mungkin hampir tak pernah menggantinya karena seingatku lelaki itu selalu menggunakannya. Ibuku tampak bahagia bersamanya, tentu saja, sampai suatu ketika di tengah malam kudengar pertengkaran mereka. Membicarakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]
Mystery / ThrillerSesosok mayat lelaki ditemukan dalam sebuah mobil yang terkunci, membuat orang-orang berasumsi bahwa sang lelaki bunuh diri. Walaupun begitu, ternyata kasus tersebut tak sesederhana yang diduga. Roy dan Wijaya menyelidiki kasus tersebut, menyimpulka...