11. Helix

3.5K 498 9
                                    

Aku berkeringat. Sungguh. Belasan tahun—hampir puluhan—kujalani pekerjaan seperti ini, semuanya tetap tak membuatnya mudah, seolah-olah aku berada dalam lingkaran waktu, mengulangi semuanya, mempertanyakan segala hal yang mungkin terjadi. Apakah aku akan membuat kesalahan? Apakah seluruh lajur yang kuambil ini benar adanya? Kenapa aku dapat yakin?

Terlebih jika kasus yang kutangani adalah sebuah kasus rumit yang tampak seperti kasus sepele—sederhana.

Sejujurnya, ini pertama kalinya Loka mengunjungi kantorku. Aku sendiri tak yakin akan apa yang diinginkannya. Tempat ini tak begitu menarik di malam hari, hanya sebagian anggota yang berjaga malam, Mungkin pula—jika beruntung—beberapa orang yang mengadukan kasusnya, bertemu dengan kami. Selain itu, tak lebih dari orang-orang yang menjadi tahanan sementara, ditahan di ruang penahanan—ruangan yang selalu kuhindari.

Namun, Loka tampak biasa saja—anteng. Sesaat setelah ia menapakan sol sepatunya, geretan kakinya tak dapat berhenti. Ia terus mengikutiku, mengekor di belakang sembari melihat samping kiri dan kanan setiap ruangan maupun lorong yang kami lewati. Aku merasa seperti seorang tour guide.

Memasuki tempat ini, beberapa orang tampak sedang menunggu di ruang tunggu. Bagian penerima tampak kewalahan menerima aduan mereka satu persatu. Namun, bagaimana lagi? Pekerjaan kami, kan? Resiko setiap pekerjaan selalu berbeda satu sama lain, memiliki beban masing-masing. Setidaknya, mereka tak perlu memikirkan beban akibat rasa takut dalam mengambil keputusan yang salah. Orang-orang itu—para penerima aduan—hanya perlu mencatat seluruh aduan orang-orang sipil secara detail, tak lebih. Hidup mereka tak menggantungkan nyawa orang-orang di balik jeruji besi, dunia luar, atau bahkan kursi listrik.

Gedung ini tak terlalu besar, hanya perlu beberapa saat hingga aku menemukan Wijaya. Itu pun tak lebih dari sekadar menyusuri lorong remang-remang yang langsung tampak begitu kubuka pintu depan gedung.

Wijaya melambaikan tangannya, menyadari kehadiranku, membuatku membalas gerakan tubuhnya itu.

"Di mana mereka?" tanyaku tanpa berbasa-basi. Untuk saat ini, tidak mungkin aku melakukannya. Tidak mungkin kukeluarkan sejurus candaan tololku yang tak membuat suasana menjadi lebih baik.

"Ruang interogasi satu, dua dan tiga. Mereka semua dipisahkan." Fokus Wijaya sedikit terganggu. "Ah, Loka, ya? Udah lama nggak ketemu."

Loka sendiri sedikit cengengesan. "Iya, om."

Aku tahu, Loka bukanlah seorang anak kecil yang perlu pengawasan berlebih, apalagi ketika kubawa ia ke kantor. Namun, tetap aku tak merasa nyaman seandainya ia harus berdiam diri, di tengah lorong gelap seperti ini, sendirian. Apalagi, dengan adanya tiga orang yang benar-benar ingin kutemui—Janu, ayah dan ibunya—tampaknya tak akan membuat malam ini menjadi singkat. Kurasa secangkir kopi pun harus kupersiapkan, berjaga-jaga untuk yang terburuk.

"Loka, kalau kamu mau jalan-jalan, jalan-jalan aja. Kalau mau nunggu, ruangan bapak ada di sebelah kanan, cari aja namanya. Kalau kamu mau pulang duluan, pulang aja, tapi kasih tahu dulu. Oke?"

"Sip!"

Aku tak pernah merasa lebih hidup dibandingkan Loka yang mengikuti semua ucapanku. Dia langsung pergi, beranjak dari tempat dirinya. Bahkan, tak perlu kukonfirmasi bahwa seluruh pesanku itu telah selesai.

Wijaya tertawa kegirangan melihatku.

"Kenapa?" tanyaku segera. Namun, perlu beberapa saat hingga Wijaya menjawab pertanyaanku. Ia menepuk-nepuk perutnya, beberapa kali.

"Pak Roy, Bapak memperlakukan Loka seperti anak kecil."

"Dia masih kecil."

"Maksud saya—" Wijaya menanamkan kedua lengannya pada saku celana setelah ia rasa diperlukan. Tak ada tertawaan lagi, tetapi ia masih tersenyum. "Anak kecil berusia sembilan atau sepuluh tahun."

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang