15. Personal Deep

3.2K 465 29
                                    

Jantungku berdegup kencang. Masih bisa kutangani, tetapi tetap saja rasanya tak nyaman. Kedua kaki yang berdiri kokoh di depan pintu ini tampaknya tak ingin bergerak. Entah sudah berapa menit kuhabiskan waktu untuk berada di tempat ini, tetapi rasanya ada sesuatu yang salah—hanya perasaanku.

Aku berpikir, betapa brengseknya orang yang mengunjungi rumah orang lain hanya untuk memberitahukan hal yang dirasanya benar—walaupun memang benar. Namun, aku tak memiliki pilihan lain. Seperti yang Loka katakan, harus ada aksi. Segala bentuk komplainku tentu akan sia-sia jika tak kuutarakan pendapatku pada siapapun. Pelaku, korban, orang-orang yang peduli, siapapun itu. Jadi, akhirnya setelah kukumpulkan kekuatanku sambil menghela napas, kuketuk pintu ini. Tiga kali.

Ibu Dewi membukakan pintu untukku.

Wajahnya sama seperti biasanya, tak menyukai kedatanganku. Dia langsung merengut, aku tahu benar hal itu terjadi karena sesaat sebelumnya, aku dapat mengintip dari celah kecil ketika pintu itu baru saja terbuka. Ia merasa tak memiliki masalah sampai ia melihatku. Dia tak menyukaiku, dan aku dapat mengerti akan hal itu.

"Selamat siang," sapaku dengan ramah. Sungguh, cara bicara teramah yang pernah kulakukan, tetapi perempuan ini tak peduli. Bibirnya tetap melengkung ke bawah, tak menyukaiku. Bahkan, dia membalas dengan cepat.

"Ada apa?"

Perempuan itu masih memegang gagang pintu, seolah-olah berusaha untuk menutup pintu kembali, tak ingin berurusan denganku.

"Saya kemari ingin membicarakan mengenai Janu, Pak Arya dan istrinya."

"Kasusnya sudah selesai, kan?"

"Ada hal lain yang ingin saya bicarakan."

Perempuan itu mendengus kesal. Bahkan, ia menyilangkan kedua lengannya, memangku dada, sungguh hal yang tidak sopan untuk dilakukan di tanah Pasundan. Aku tahu, mungkin terlihat biasa saja bagi orang lain, siapapun di dunia ini. Namun, di tanah ini, gerakan seperti itu—apalagi dilakukan oleh perempuan—amatlah tak sopan. Jika aku segenerasi dengan kakekku, mungkin telah kutampar perempuan itu, mengajarkannya tata krama. Untungnya, zaman sudah berbeda, berubah.

Tetap saja aku tak menyukainya.

Kunaikkan nada suaraku.

"Dengar, Bu," kataku, tegas. "Jika Anda memiliki masalah sendiri, oke, itu masalah Anda sendiri, Anda bisa berpikir untuk menyelesaikannya, tetapi yang Anda lakukan itu tidak benar."

"Anda tahu apa, Pak?"

"Anak Anda telah meninggal. Karena Janu."

"Siapa yang memberitahu!?"

Tetangga-tetangga Anda, batinku. "Catatan kepolisian," kataku.

Matanya mengerjap berkali-kali. Tatapannya tajam bagaikan elang. Bahkan, perempuan itu hampir menutup pintu sebelum pada akhirnya kutahan, memaksakan lenganku untuk mendorong balik pintu itu. Kepalan tanganku berhasil menghentikan tindakannya. Namun, kurasakan dorongannya semakin kuat, membuatku menggunakan lengan yang lain untuk menahannya lebih jauh.

"Saya belum selesai," lanjutku dengan tak sopan. Sialan, aku benar-benar merasa menjadi orang paling brengsek saat ini. Maksudku, aku merasa cukup berterima kasih atas bantuannya secara tak langsung, bagaimana kami tahu bahwa Janu suka bermabuk-mabukan, karena sebelumnya—sejujurnya—aku tak pernah memikirkannya hingga kesimpulan itu. Namun, aku tetap ingin membat semuanya berjalan dengan baik. Sistem persaudaraan di tempat ini.

"Saya tidak ingin berurusan dengan Anda lagi," katanya. Namun, aku menolak untuk mendengarkan hal itu. Setidaknya, hingga hari ini, hingga aku merasa seluruh masalah akan beres. Bagiku, ini pun masih terkait dengan kasus yang kutangani.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang