14. Vengeance

4.1K 514 27
                                    

Apakah ini semua hanya delusi? Aku melakukannya, melihat semuanya, tepat di mana aku berada, tetapi aku merasa bahwa dunia ini adalah dunia fantasi di mana seluruh keinginanku, harapanku, seluruhnya terkabul, dan itu semua terjadi. Bahkan, aku memastikannya berkali-kali, kunci mobil ini benar-benar tak bergerak, tak terbuka, tepat seperti sebelumnya, terkunci. Mengunciku di dalam seolah berharap aku mati terkurung, ditinggalkan dan dilupakan.

Aku mendengus, tersenyum, menimbulkan suara napas yang aneh—tersendat. Kedua telapak tanganku terangkat tanpa sadar. Semuanya bekerja seperti seharusnya.

Di luar, Wijaya menatapku tak percaya.

"Astaga!" katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Demi apapun, tak pernah terpikirkan dalam benak saya, Pak, bagaimana hal ini bisa terjadi."

"Teknologi di dunia ini semakin maju. Sistem keamanan semakin disempurnakan. Mobil keluaran baru mungkin tak dapat melakukannya. Mungkin kunci pintu akan terbuka secara otomatis begitu tahu bahwa kunci mobil ini masih tergantung pada tempatnya. Tapi aku lupa bahwa mobil ini sudah tua, sudah lama diproduksi. Mungkin lebih tua dari umur Loka." Loka belum delapan belas tahun. Dan jika mobil ini memang dibuat pada tahun yang pas dengan yang kudapatkan, artinya mobil ini memang lebih tua dari Loka. "Sistem keamanannya belum sebaik sekarang. Bahkan kunci digital-nya pun tak ada, kan?"

Wijaya terpaku, tersenyum kaku, sama sepertiku yang bahkan tak berpaling untuk menatapnya, lebih memilih untuk melihat speedometer yang tak bergerak sama sekali. Seluruh jeratan pemikiran yang melintasi otakku masih sama seperti sebelumnya. Apakah semua ini hanya delusi? Jujur, aku tak menyangkanya.

Namun, aku tak dapat terlarut dalam pemikiran itu. Seperti yang kutahu, cara ini berhasil, itulah hal penting yang harus kutempatkan dalam otakku. Kembali kunaikan jendela mobil, kemudian berjalan keluar setelah sebelumnya kutarik kunci pintu, membiarkanku melengang bebas.

Wijaya tak mengatakan apapun lagi. Aku yakin, dia sama terkejutnya denganku. Sedangkan Loka, aku dapat melihat senyum bangganya, seolah-olah ia memberikanku cahaya dalam kegelapan—walaupun memang seperti itu. Dia menyilangkan lengannya di depan dadanya, menungguku untuk berterima kasih yang tak langsung kukatakan secara terang-terangan. Aku tertawa kecil sebagai pengganti kata terima kasih. Lalu, di seberang sana, Ibu Rio tampak kebingungan dengan apa yang sedang terjadi, tak tahu harus berbuat apa.

===

Memecahkan sebuah kasus memang bukanlah hal yang mudah. Namun, mendekati seorang tersangka, menangkapnya, dan tahu bahwa hukuman akan dibawakan padanya pun bukanlah hal yang mudah bagiku. Ketika aku tahu bahwa satu trik gila sederhana yang tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya ternyata bisa dilakukan, harus kuakui bahwa aku amat senang, seolah-olah berhasil menyelesaikan ujian dalam satu mata pelajaran tersulit secara sempurna. Namun, pada saat itu pula aku harus menemui ujung dari kasus ini. Menyimpulkan satu kasus dan menutupnya. Bukan berarti aku tak ingin melakukannya, hanya saja sedikit berbeda untuk kasus kali ini.

Janu membunuh kakaknya sendiri dalam keadaan tak sadar. Sang ayah berusaha melindunginya, berkendara beberapa saat dan berusaha memperlihatkan bahwa anaknya bunuh diri. Namun, semua usahanya itu tak berjalan mulus. Kami—atau harus kukatakan Wijaya—tahu. Dan sejauh yang kutahu, Agoy adalah seorang anak yang sangat menyayangi keluarganya—mungkin juga berlaku untuk Janu. Satu kesalahan tolol mengubah semuanya. Padahal, aku benar-benar yakin bahwa Janu bukanlah orang seperti itu. Maksudku, dia masih peduli. Di kesadarannya, Janu berusaha untuk membantu kami, tak berusaha menutup-nutupi. Walaupun tak menutup kemungkinan bahwa kala itu—ketika mereka mendatangi tempat kejadian perkara untuk pertama kalinya—ia belum tahu, tapi ia bersikap acuh. Setidaknya sifat aslinya menyeruak, berusaha mengungkapkan pembunuhan kakaknya.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang