18. Concerned Third Party

3.4K 504 5
                                    

Aku belum memberitahu Wijaya sama sekali. Mungkin, saat ini dirinya sedang tidur dengan santai, mengorok hingga getaran suaranya mengganggu tetangga-tetangganya. Sedangkan di sini, pikiranku tampak runyam. Beberapa menit kuhabiskan hanya berdiam diri, duduk di atas sofa tanpa melakukan apapun. Kedua lengan kumainkan, mengaitkannya satu sama lain dan menggerakan ujung-ujung jariku, melenturkan dan menegangkannya secara berkala.

Pukul sepuluh malam dan aku belum bisa tidur. Tidak mengantuk. Begitu kupaksakan kedua mata ini untuk terpejam, otakku langsung melenguh, seolah-olah dapat kudengar teriakannya, berkata tidak dengan sangat keras padaku, membuatku kembali terjaga.

Aku sudah mencoba berbagai cara. Makan, minum, menghitung benda-benda yang tidak penting, semuanya tak berhasil. Membaca buku pun tampaknya tak begitu efektif. Bukannya terlarut dalam tulisan yang tergurat pada kertas-kertas itu, pikiranku melambung ke tempat yang lain.

Di mana aku dapat menemukan mereka? Apakah tempat yang sama? Kalaupun di tempat yang sama, bagaimana caraku mendapatkan mereka? Menyeretnya hingga berdarah-darah, melemparkan mereka tepat di hadapanku dan memaksa untuk berbicara.

Penyelidikan kali ini tidak resmi. Maksudku, kasus ini baru ditutup beberapa hari, seluruh media telah memberitakannya karena sang pelaku—saat itu—adalah adiknya sendiri, membunuh kakaknya dengan keji atas kecerobohannya dan berusaha membuat seluruh kejadiannya terlihat seperti bunuh diri. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu.

Aku tak dapat membiarkan mereka—para wartawan—mengendus sebuah kesalahan dalam penyelidikanku. Bisa mati aku, begitu pula dengan Wijaya. Tentu, orang-orang akan melihat kami seperti orang yang terburu-buru, menutup sebuah kasus dengan kenyataan yang salah. Mereka akan segera menghakimiku—kami. Polisi tolol, brengsek, menuduh orang yang tak bersalah hanya karena ia berpenampilan layaknya preman yang suka memalak di perempatan jalan. Aku tidak melakukan ini untuk diriku—walaupun mungkin ada—tetapi juga untuk Wijaya, dan aku tak ingin menyeretnya ke dalam sebuah permasalahan.

Jadi, di sinilah diriku. Duduk berdiam diri dengan segelas teh hangat yang sedari tadi belum kuhabiskan—gelas kedua. Aku tidak tahu apakah segelas teh dapat membuatku terjaga atau tidak, tetapi kuharap tidak. Aku ingin beristirahat, sungguh, tetapi aku tidak bisa. Masih banyak pertanyaan yang melintas di dalam benakku.

Tak ada jejak yang dapat kuikuti, rumah itu bersih tanpa meninggalkan sedikitpun petunjuk. Aku tak dapat meminta bantuan petugas-petugas lain untuk hal yang tak resmi ini, atau mereka akan menyadari kesalahan yang kulakukan—setidaknya jangan dalam waktu sedekat ini. Jadi, ke mana aku harus pergi?

Semilir angin malam menerpa rumah ini. Tentu tak terasa karena aku sedang berada di dalam, tetapi bunyi gemerutuknya akibat menabrak dinding-dinding bagian luar rumahku, aku yakin betapa sejuknya suasana yang ada. Betapa tenang suasana yang ada di luar sana ketika di dalam diriku sendiri sedang terjadi perkelahian yang luar biasa, lebih semacam perang.

Namun, tak begitu lama, ketukan kayu terdengar, membuatku berbalik dan mendapatkan Loka tengah berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Ia membeku untuk beberapa saat, tepat setelah aku menangkapnya basah-basah. Menyelinap, mungkin? Aku tidak tahu, yang pasti dia langsung tertawa kecil begitu melihatku yang bingung akan gerak-geriknya.

"Belum tidur?" tanyaku, tak menghentikan pergerakan Loka yang pada akhirnya terhenti di sampingku. Ia duduk di sofa lainnya, sofa yang lebih kecil dan hanya dapat memuat satu orang.

"Lagi tidur, nih." Nadanya mengejek. Aku mengerti, tetapi aku tetap tak terpengaruh oleh selera humornya yang rendah.

"Kenapa kamu ke sini?"

"Kenapa Bapak belum tidur?"

Kumiringkan wajahku, kuberikan mimik wajah terburukku untuk menunjukan rasa tak senang.

Detektif Roy : Rasionalitas [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang