Irene tak bisa jujur, tidak cukup berani karena kebaikan keluarga Sehun padanya selama ini. Sehun yang selalu meyakinkan. Akankah Irene akhirnya berani mengungkapkan semua yang ia rasakan, meski orang tua nya sendiri yang menjadi penghalang?
"Aku m...
Sang mentari mulai menampakkan sinarnya, hingga seorang gadis di dalam kamar perlahan terbangun dari tidurnya. Ia memposisikan diri duduk bersandar pada kepala tempat tidur sambil meregangkan otot-otot nya. Irene melirik jam yang tergantung di atas almari, memejamkan mata sesaat. Dengan terpaksa ia kembali membuka mata dan perlahan turun dari tempat tidur, melangkah masuk ke kamar mandi.
Selang 20 menit, Irene selesai. Sudah rapi dengan kaos dipadukan celana jeans yang ia gunakan. Irene keluar kamar, pergi menuju dapur hendak membuat sedikit sarapan.
"Neo nuguya?" Irene berteriak saat mendapati seorang pria tengah berdiri di dapur membelakanginya. Sama-sama terkejut, pria itu sontak berbalik.
Irene menghembuskan nafas lega setelah tau siapa pria yang berada di apartemennya sepagi ini. "Harusnya kau menekan bel!" Gadis itu membuka kulkas.
"Wah, suara mu bisa membangunkan semua penghuni apartemen ini." Sehun menyeruput kembali kopinya.
"Mau apa kau pagi-pagi ke sini?" Irene memandang sinis Sehun sesaat kemudian pergi ke meja makan meninggalkan Sehun yang masih asik dengan acara minumnya. Sehun sedikit mengangkat cangkir kopi memberi jawaban.
Irene memutar bola mata nya malas. "Apa kopi saja tidak ada di rumah mu?"
Sehun menggeleng, "Buatkan untuk ku juga Noona." Ia duduk di depan Irene yang sedang mengoleskan selai pada rotinya.
"Lain kali jangan seenaknya masuk apartemen ku!" Irene menatap Sehun. "Syukur aku sudah selesai mandi, kalau belum bagaimana? Aku ini perempuan, ingat itu." Irene berucap.
"Karena itu aku tidak masuk ke kamar mu, dan hanya ke dapur." Sehun menjawab santai. Irene menyodorkan roti yang dibuatnya tepat di depan wajah Sehun.
"Kau tidak berangkat?" Irene memandang Sehun yang sibuk mengunyah roti isi miliknya. Yang ditanyapun sekedar menganggukkan kepala.
"Noona, bisa tidak mengantar ku?" Masih tetap pada rotinya.