Ah, untunglah sepi. Aku pulang telat, sudah jam enam, untung mesin waktunya bekerja.
Rei mengendap-endap, ngacir secepatnya menuju kamarnya di lantai dua. Satu-satunya ruangan yang lebih tinggi dari bangunan lainnya.
Kedua tangannya penuh dengan paper bag yang berisi pakaian dan t-shirt serta jeans berbagai ukuran. Sepulang sekolah, Yuki menyeretnya menuju Roppongi untuk berbelanja. Sedangkan Chiisa kembali ke rumahnya, 'pelatihnya' akan khawatir jika gadis itu pulang terlambat.
Yuki sewaktu SMP adalah penghuni panti asuhan. Dia sama berandalnya dengan Rei, mereka dikenal sebagai Yankee wanita. Tepat di hari di mana Rei bunuh diri (yang kemudian diselamatkan oleh Shiro-hime), Yuki diadopsi oleh seorang yang mengaku sebagai kakak tirinya.
Alhasil, sekarang Yuki kaya raya. Terlebih dengan wajah cantik yang sudah alami dari sananya, gadis berambut pirang itu memulai debut sebagai model ter-famous tahun ini.
"Yuki asal pilih baju ya?" Rei mengerucutkan bibirnya, melihat sweater berbahan lembut yang bagian lehernya kedodoran.
"Memangnya baju begini lagi nge-tren apa?"
Rei mencoba satu per satu pakaian yang dibayarkan Yuki gratis untuknya. Kebanyakan baju bermodel kekinian, setidaknya dia masih bisa memaklumi rok mini dan hot pants jeans.
"Permisi..." Pelayan setia sang aruji sudah berdiri di depan pintu. "Sudah waktunya makan malam, Aruji. Para touken danshi mengharapkan Anda dapat bergabung malam ini."
Simatta! erang Rei dalam hati, kamarnya amat berantakan dan Hasebe jelas-jelas akan mengomel panjang dikali lebar nanti.
"Aruji-sama?" Hasebe sudah bersiap menggeser shoji, jika ia tidak segera memekik.
"JANGAN MASUK, AKU LAGI GANTI BAJU, AHO!"
"Su-sumimasen deshita, Aruji!" Hasebe langsung ber-ojigi di luar sana, "saya akan turun duluan, silahkan Anda menuju ruang makan. Hidangan Anda sudah disiapkan,"
Rei hanya menatap horor shoji yang hampir saja dibuka Hasebe. Dia tidak akan pernah membiarkan siapapun di benteng ini melihat tubuh setengah telanjangnya!
Ugh, memalukan.
***
Daripada sibuk memilah pakaian barunya, Rei memilih mengenakan kimono hijau daun dengan obi hijau lumut dan haori hijau tua bermotif tumbuhan---yang ia tidak tahu apa namanya.Gadis tersebut malas memakai kaos kaki, jadi ia menjejak saja lantai kayu hangat ini dengan kaki telanjang. Meski masih dingin tapi kulitnya sudah terbiasa.
Malu-malu, gugup, gelisah, mata sebiru lautan itu mengintip pintu ruang makan dari ujung koridor. Lorong-lorong sepi, berarti para ksatria absurd pengangguran itu sedang berkumpul ramai-ramai di ruang makan. Suara mereka gaduh, terdengar hingga tempat Rei berdiri.
Ah, kakiku gemetaran. Sial, segini gugupnya kah bertatap muka langsung dengan pedang-pedangku sendiri?
Apalagi dengan kejadian dua minggu yang lalu. Aku harus segera minta maaf, ugh...
Pikirannya berkecamuk, hingga ia terlambat menyadari bahwa Shokudaikiri muncul dari balik pintu ruang makan dan menangkap basah aruji-nya sedang mengintip.
"Aruji-sama!!!" teriakan senang master chef citadel tersebut menimbulkan riuh rendah dari dalam ruang makan.
Waduh, tamatlah riwayatku! Aku akan dikhianati pedang-pedangku sendiri! Belum apa-apa Rei sudah berburuk sangka.
"Saa, Aruji-sama, ikuzo." Wajah tampan ber-eyepatch itu tersenyum ramah seraya mengulurkan tangannya.
"Anda tidak perlu gugup, kami semua sudah menantikan Anda makan bersama kami selama enam bulan ini."
Yah, bayangkan saja, enam bulan lamanya tinggal bersama pria-pria gagal move on yang haus kasih sayang, dan kau tak pernah sekalipun memperhatikan mereka. Malah semakin memperburuk suasana dengan mengatakan, 'kalian pun suatu saat akan meninggalkankan aku'.
Ucapkan selamat pada pecundang bernama Rei satu ini.
Shokudaikiri menggeser shoji, datang bersama sang saniwa yang bersembunyi layaknya anak kecil dibalik punggungnya. Dia membawa tuannya tersebut duduk di antara dirinya dan Hasebe, berseberangan dengan Kiyomitsu dan Yasusada yang sudah memasang senyum lebar.
"Maaf-maafkan aku yang sudah berkata kasar dan membuat keresahan dua minggu yang lalu." Gugup setengah mati, Rei sekuat tenaga melontarkan kata-katanya.
Suasana hening.
"Aku tidak bermaksud begitu sebenarnya, jadi... Sekali lagi maafkan aku. Aku tidak bisa menjelaskan secara rinci kepada kalian. A-aku terbawa emosi waktu itu." Rei terus menundukkan kepala, memilih melihat semangkok nasi yang mengepul daripada wajah para ksatria yang telah ia bangkitkan susah payah.
Bahkan jangkrik seolah berhenti berderik. Sangat, sangat hening.
Bola mata safir gadis 16 tahun itu takut-takut menengadah, dan terlihat wajah kaku para ksatria pedangnya. Wajah-wajah speechless yang membuat Rei memilih menenggelamkan dirinya.
"Ano..." Cukup sudah, Rei tidak tahan dengan ekspresi beku mereka.
"Kau bicara apa, Aruji? Kau tidak perlu minta maaf, kami sudah memaafkannya kok." Suara ceria milik Shishio memecah keheningan, setelah berhasil menguasai kebekuan suasana.
Tsurumaru yang tersadar, langsung tertawa dan berujar 'odoroita ne'. Toudan yang lain serta-merta kembali memasang tawa dan senyum yang semakin melebar saja, yang seolah akan merobek bibir mereka saking lebarnya.
Kini giliran Rei yang speechless berada dalam kehangatan yang tak pernah dibayangkannya seumur hidup.[]
.
Yeeee sudah part 02!
Jangan lupa vote! Tengkyu!
KAMU SEDANG MEMBACA
Saniwa to Honmaru no Monogatari
FanfictionJangan lupa vote ya! X3 Ini adalah kisah sang saniwa yang harus merelakan masa remajanya untuk mengurusi lelaki-lelaki pengangguran dan menggali tanah mencari harta karun demi membayar pajak serta memenuhi kebutuhan tidak penting para toudan :'3