Part 10 : Merengkuh Damai Masa Lalu

469 51 9
                                    

Gemintang bertaburan, menghiasi langit kelam.
Nun jauh tak tergapai, malam ini bulan tak sendiri.
Riak gelombang memantulkan kilau purnama, menghantarkan kisah kaum siren di pelosok laut sana.
Adakah cinta yang tercipta, bagi mereka yang berdosa?

***
Manik cerulean Rei menatap langit-langit kamarnya. Pendar lembut rembulan menyusup di celah-celah, merambat anggun di atas tatami.

Tak payah menunjukkan, bahwa sang empunya cahaya adalah estetika alami yang menawan hati.

Mata berbingkai bulu mata lebat itu mengerjap pelan, menghalau serpihan kesedihan yang menumpuk. Tak lama berselang, kristal cair menetes dari pelupuk seperti embun.

Ini baru jam enam pagi dan Rei telah menangis lagi. Alih-alih menangisi permintaan Kitawajima, atau masa lalunya, air mata sang saniwa itu jatuh untuk para ksatrianya. Untuk sejarah-sejarah menyedihkan yang dipikul oleh mereka, untuk bekas luka lama yang tak lekang oleh waktu.

Untuk Ichigo yang kehilangan sayap-nya, untuk Jiji yang terlupakan, untuk Hotaru dan Horikawa yang tenggelam di lautan, untuk Tsurumaru yang dianggap pembawa sial, untuk Imanotsurugi yang dinotis sebagai mitos, dan untuk pedang-pedang lainnya.

Rei tak pernah menyangka, akan sesakit ini rasanya menjadi saniwa. Perih hati yang telah mati, membaca lembar demi lembar ukiran sejarah tiap ksatrianya. Kadang Rei harus tega, membiarkan mereka menerima kenyataan bahwa tuan mereka yang dulu telah mati.

Benar kata Hasebe, 'pedang memiliki masa kehidupan yang jauh lebih lama dari manusia.'

Sebenarnya itulah yang membuat Rei pernah meragukan para ksatrianya, mengatakan bahwa suatu saat nanti mereka juga akan meninggalkan Rei. Seperti kasih sayang Ibu yang lenyap bagai debu.

Hari ini akan ada pertempuran besar di Hakodate, berkaitan dengan kematian Hijikata. Demi apapun, Rei harus tegar demi keselarasan sejarah. Atau segala yang terjadi sampai sekarang akan kacau balau. Kekuatan dewan waktu tidak akan sanggup membendungnya.

Maka Rei menyibak selimut, bangun dan menuruni tangga, menyapa sekilas Ichi yang bangun kepagian---sebelum air matanya jatuh lagi---lalu mengguyur tubuh dengan air shower.

Dia sudah memperkirakan sejak seminggu lalu, jikan shokogun akan mengintervensi sejarah di sana. Dan kali ini, ia harus tega membentuk tim yang tidak cocok sama sekali.

Ah, sialan sekali. Maafkan aku harus membuat kalian satu tim. Tapi ini semua demi sejarah yang harus kalian lindungi, hidup dan mati.

***
Sepulang dari shitsujin, wajah para anggota tim dua tampak kusut. Namun berubah (pura-pura) ceria begitu melihat tuan mereka sudah menunggu kepulangan dengan kimono yang menghias badan.

"Tadaima, Aruji-sama." Horikawa yang pertama kali mampu mengusai emosi, meski kesedihan tercetak jelas di wajah.

"Okaerinasai. Bagaimana pertempuran kalian? Aku akan menunggu laporannya agar bisa memprediksikan kedatangan jikan shokogun selanjutnya." balas Rei dengan senyum terpatri.

"Saya akan menyampaikan laporan misi kali ini beberapa jam lagi, Aruji." sahut Izuminokami.

Kesedihan jelas-jelas terukir di wajah member Shinsengumi. Nagasone, Izuminokami, Horikawa, bahkan raut Mutsunokami saja seperti akan meninju apa saja yang ada di depannya. Akita dan Shizukagata juga  membisu.

Saniwa to Honmaru no MonogatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang