Part 05 : Kegelapan Dalam Mimpi

489 44 0
                                    

Ingatkah engkau pada barisan irish yang bergoyang?
Ingatkah dikau pada mata jernih yang memantulkan sinar mentari?
Namun sekali lagi, kala dirimu sadari, ada darah yang membasahi lengan.
Tak hilang bekasnya meski dibasuh dalam telaga surga.
Tak lenyap dosa meski merintih mengais ampunan.
.
Ada mentari di sana, ada api dalam dirimu. Mentari mungkin menghangatkan, namun api perlahan berkobar, membakar bayang-bayang.

***
"Aruji-sama?"

Ada bisik khawatir di sana, Rei susah payah menggapai sang suara. Oh tidak, tubuhnya tenggelam dalam samudra tak bertuan, telisik cahaya bahkan tak tampak.

Ini adalah kegelapan dalam mimpi. Sering ia mengalami, namun tidak jua terbiasa. Berapa kali pun, ini selalu mengerikan.

Tenggelam sendirian, tanpa seberkas cahaya, dan dingin. Di sini seolah semua dosa mengelilingi, padahal entah apa kesalahan yang pernah terjadi. Yang Rei tahu, Ayah meninggal karena menyelamatkan bocah tak diharapkan macam dirinya.

Hei, Ayah, apakah laut itu memang segelap ini? Apakah... Apakah, dosa itu semengerikan ini. Padahal 'mereka' hanya gumpalan kegelapan yang menyesakkan dada.

Shiro-hime benar, hati dan jiwa Rei memang pada dasarnya tak suci. Ada kegelapan yang mengakar kuat di sana, cukup kuat untuk mengambil alih kesadarannya. Cukup kuat untuk membakar ia dalam api neraka.

Ah, bukannya 'rumah'-nya dulu juga neraka? Segala kelebatan KDRT pernah yang pernah dialami berseliweran seolah mengejek.

Tangan 'Ayah' tirinya yang membelah udara, meninggalkan bekas keunguan di mata. Keras sekali, sampai rasanya ada saraf yang terputus. Rei pikir ia akan buta sebelah, ternyata tidak.

Masih terlalu ringan nasib mempermainkan. Lagi, lelaki tua pemabuk itu menyakiti. Menendang, memukul, menampar, bahkan berniat menjual badan teposnya di klub malam.

Untung saat itu ia dalam keadaan kucel dan dekil, jadi tak dilirik. Memperkirakan tak kan laku.

Setidaknya, Tuhan menolongnya kali itu.

Sejak itu, Rei tak lagi bersikap seperti manusia. Jadilah ketika SMP, ia membangkang keluarga 'gilanya'. Ibu juga gila, mau-maunya menikahi lelaki brengsek itu demi lunasi hutang. Yang ada, kehidupan mereka semakin suram.

Hanya ketika Ibu mengkasari Rei tak melawan. Ia sayang Ibu, masih mengharapkan cinta ibu yang dulu. Mengais senyum lembut wanita tersayangnya.

Rei adalah preman jalanan. Tawuran apapun akan dihadapi dengan wajah dingin, bersama Yuki yang sama-sama telah kehilangan hati. Segumpal organ merah anyir dalam dada manusia milik mereka telah membatu, lalu luruh bagai debu.

Kehidupan mereka sesuatu yang menjijikkan, hina, dan tak berperikemanusiaan. Terserah apa kata orang, toh mereka tak tahu apa yang Rei dan Yuki alami.

Dua gadis belia yang dipaksa mematikan hati, memutus sensor sakit di tubuh. Tulang retak, bergeser, lebam, memar, semua seolah angin lalu. Seperti tinggal menunggu waktu saja hingga semua saraf dan urat di tulang-tulang saling gencet, menimbulkan kelumpuhan.

Satu-satunya alasan Yuki tetap bertahan hidup di dunia yang kejam ini adalah Rei. Mereka teman sehidup-semati. Dan alasan Rei tetap bernapas adalah adiknya. Adik kecil polos peninggalan terakhir Ayah kandungnya.

Tapi Rei tak sekuat itu, tak pernah sekuat itu. Jadi ia memilih menatap mesra pendar menyilaukan lampu kereta di bawah derai hujan, sebelum akhirnya dipeluk cipratan darah dan kesakitan tak terhingga.

Masalahnya, Kami-sama tak ingin ia tenang dulu menyeberang sungai Sanzu.

***
Air mata turun perlahan di pipi. Tak kunjung membangunkan sang empu kelopak mata.

"Aruji-sama dari tadi belum bangun, dan kamarnya memang tidak dikunci. Aku sudah mencoba, tapi beliau tidak mau bangun." ujar Hasebe.

Jiji mengetuk dagunya dengan telunjuk, "Sepertinya terjadi lagi," lalu memasuki kamar sang tuan usai mengucap permisi.

"Apakah Aruji baik-baik saja? Dari tadi Aruji merintih. Kata Hasebe bukankah Aruji tak mau bangun?" Taikogane berkata cemas.

"Dulu ini pernah terjadi, tak kusangka akan terjadi lagi." ucap Kogitsunemaru pelan.

"Maksudmu?" Ishikimaru menggerung, "aku sudah mencipratkan air suci, Aruji tetap tidak mau bangun. Ada kegelapan yang menguasainya."

"Semoga bukan roh jahat yang merasuki tuan kita. Sulit untuk mengusirnya tanpa menyakiti tubuh Aruji." imbuh Nikkari.

"Jika ini pernah terjadi dulu, kenapa tidak ada yang tahu---kecuali kau, Kogitsunemaru-san?" tanya Ichigo, sang tachi Awataguchi tersebut.

Kogitsunemaru diam sebentar, "Mungkin sebaiknya kalian tetap tenang, dan mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan. Aku dan Mikazuki-dono akan mengurus hal ini."

"Kalau begitu kuserahkan pada kalian, meski aku tak tahu apa penyebabnya. Semoga Aruji-sama baik-baik saja." Hasebe membungkuk, sebelum mengusir toudan lain dari depan pintu kamar sang tuan.

Kogitsunemaru menghampiri Jiji yang tengah memeluk tuan mereka dalam pangkuannya. Sang saniwa muda merintih dengan peluh membanjiri kening, ia berada dipangkuan sang tachi bulan, dipeluk satu arah oleh Jiji.

"Mungkin sebentar lagi Aruji-sama akan bangun, rintihan tidak sesedih tadi." kata sang titisan rembulan.

"Biarkan aku memeluk Nushi-sama."

Kogitsunemaru meraih gadis itu dari pelukan Jiji, dan mengalungkan lengan sang tuan di bahu tegapnya. Membiarkan tuannya menghirup aroma tubuh si rubah kecil.

Terakhir kali Nushi-sama-nya 'bermimpi buruk' begini, cara ini terbukti ampuh. Rubah memang memiliki kemampuan menyembuhkan, mengingat Oodenta Mitsuyoshi dan Sohayanotsurugi belum datang ke honmaru mereka.

"Otou-san, aitakatta."

Itu rintihan terakhir Rei sebelum kelopak matanya terbuka dan makin menenggelamkan wajah basahnya di bahu sang purwarupa pedang rubah. Menangis pelan.[]

.
(〜^∇^)〜
I'm here~ Hola~
Saniwa pun punya trauma tentang masa lalu, namanya juga manusia. Akhirnya part lima!

Votmen jangan lupa ya o (^‿^✿)

Saniwa to Honmaru no MonogatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang