Yamanbagiri Kunihiro—masterpiece Kunihiro. Ia amat indah dengan hamon midare dan personifikasi yang menawan. Sayangnya, dia adalah karakter emo—sebelum kiwame tentunya.
Dua hari yang lalu—di pagi yang berkabut, Rei menangis histeris saat melihat Yamanbagiri memasuki pekarangan honmaru. Ia tidak memperkirakan Yamanbagiri akan datang lebih cepat. Rupanya Yamanbagiri menggunakan burung agar bisa pulang lebih cepat.
Melihat tudung lusuh Yamanbagiri yang telah ia tanggalkan, serta sorot mata sang uchi cantik berkilau percaya diri membuat Rei bahagia tak terkira. Starter sword-nya pulang dengan senyum secerah mentari musim panas.
"Tadaima, Aruji-sama. Mulai saat ini, saya akan melayani Anda lebih lagi." ujarnya setelah perkenalan basa-basi.
Alih-alih mengucapkan okaeri, Rei malah melompat kepelukan sang ciptaan Kunihiro dan menangis histeris. Hari itu, honmaru dan bersuka cita melihat bungsu Kunihiro bros telah menemukan jati diri yang sesungguhnya.
"Atsui naaaa! Apakah panasnya matahari tidak bisa dikurangi?" Midare misuh-misuh karena badannya jadi lebih mudah berkeringat.
Rei tertawa parau sambil mengipasi diri sendiri. Sudah genap setahun honmaru ini berdiri, tepat hari kepulangan Yamanbagiri pesta perayaan anniversary diadakan sekaligus.
Tahun ini, Imanotsurugi tidak lagi bermuram durja menunggu kehadiran Iwatooshi. Lihat, mereka sedang asyik bermain di pinggir kolam. Begitu pula dengan Kiyomitsu—salah satu pedang tertua di benteng —terlihat sibuk menyuruh Yasusada memakai sunblock.
Kakek-kakek Sanjou yang susah didapatkan (karena gacha sang saniwa ampas) tengah menyeruput teh sambil merendam kaki di bak berisi air es. Honmaru Rei terasa begitu ramai dan menyenangkan. Sebuah 'rumah' yang telah lama ia dambakan.
Rei sendiri tengah berbaring di pangkuan Yamanbagiri, menikmati tiap momen di pekarangan benteng dengan senyum terukir. Besok ia memiliki wacana untuk memotong rambut dan berbelanja selagi jadwal kosong.
"Yamanbagiri, besok temani aku ya? Kamu sekretaris kan." pinta Rei.
"Kemana Tuan?"
"Belanja. Aku ingin membeli sesuatu di pasar zaman Muromachi, sekaliam jalan-jalan. Mau kan? Hanya besok jadwal kosongku." Rei mengerahkan puppy eyes yang didramatisir.
Yamanbagiri menghela napas, lalu menepuk pelan kepala tuannya. "Baiklah, apapun yang kau inginkan."
Saniwa ABG tersebut ber-yes riang.
***
Pukul 10.00 tepat.
"A-aruji??? Rambut Anda???" Terperanjat sang uchi pirang begitu Rei sampai di depan mesin waktu.
"Ah, aku memotongnya. Panas sekali, lagipula begini lebih praktis. Apakah jelek? Hasebe bilang lumayan kok." kata sang tuan, bibirnya mengerucut sok imut.
Yamanbagiri menggeleng, "Tidak, saya rasa itu bagus. Kita berangkat sekarang?"
"Aruji-sama!" Dari jauh, Sayo memanggil. "Saya ingin menitip sesuatu, bolehkah?" tanyanya malu-malu.
Gadis puber itu mengangguk. Sayo menyerahkan sepucuk kertas, lalu pergi setelah mengucapkan terimakasih. Yamanbagiri menjalankan mesin waktu, seketika pendar cahaya menyelimuti keduanya. Mengantarkan mereka melewati lorong waktu berabad-abad.
Karena hanya membawa satu kuda, Yamanbagiri mempersilahkan sang saniwa menunggangi kudanya sedangkan ia menuntun. Sekitar dua kilometer berjalan kaki, sampailah mereka di kota tujuan.
"Kau tidak boleh berpakaian seperti itu, Yamanbagiri. Kita beli pakaian biasa!" Akhirnya atas perintah sang tuan, Yamanbagiri mengenakan yukata biasa.
Mereka menyimpan kuda di salah satu gang, lalu menyusuri pasar untuk berbelanja. Sedikit-sedikit Rei berhenti untuk membeli kudapan, lalu memaksa Yamanbagiri turut melahapnya.
Lelah berkeliling—ditambah raut gelap pada wajah Yamanbagiri—mereka akhirnya beristirahat di bawah pohon rindang. Helaian rambut kecokelatan Rei dibelai angin, menghamburkan aroma wangi shampo yang khas.
"Tidak biasanya Anda mengganti shampo, Aruji." komentar bungsu Kunihiro tersebut.
Rei terkekeh, "Tumben kau berkomentar, Yamanbagiri. Ah iya, aku senang melihatmu sudah menurunkan tudung lusuh itu. Kau memang cantik."
Telinga Yamanbagiri memerah, malu dipuji oleh tuan sendiri. "Aku sudah memutuskan untuk lebih baik dengan menjadi percaya diri. Anda mengatakannya waktu itu."
Rei tertawa lagi, suaranya mengalir di antara angin. Menatap Yamanbagiri lembut, "Kau sudah cantik dari sana nya. Terlepas orang lain mengataimu palsu atau tidak, mencelamu seperti itu, kau tetaplah cantik. Siapa yang berhak memutuskan bahwa duplikat tidak bisa menjadi indah juga?"
Cerocosan sang saniwa lagi-lagi membuat Yamanbagiri membeku. Benar, mau bagaimanapun orang lain mengejeknya, ia tetaplah masterpiece seorang Kunihiro.
Kalimat-kalimat penyokong itu mengisi hatinya, Yamanbagiri akan mengingatnya selalu. Bahwa ada seorang tuan yang telah memberi ia kesempatan kedua untuk mengapdi sungguh-sungguh tanpa takut dicemooh sebagai tiruan.
Uchi pirang tersebut merasa bahagia. Ia tidak banyak berkata-kata lagi, hanya sesekali menimpali tumpahan kalimat dari bibir sang tuan.
"Kau harus sering-sering refreshing seperti ini, agar tidak stress. Makanan manis memang yang paling terbaik untuk mengembalikan mood!"
"Ya, Anda benar."
"Bagaimana kalau kita membeli beberapa kertas bermotif yang indah untuk dijadikan kincir angin? Pasti bagus. Para tantou bisa membuat sebanyak yang mereka mau."
"Kita akan membelinya nanti."
"Yamanbagiri, kali ini kau harus patuh jika Kasen meminta mencuci tudung lusuhmu itu. Aku tidak ingin berdekatan dengan ksatria bau!"
"Baik, baik. Akan kuturuti kemauan Anda."
"Apakah kita perlu membeli beberapa kotak dango? Kurasa Yasusada menginginkannya."
"Anda sudah mengeluarkan uang r
untuk banyak barang, Tuan."Yamanbagiri hanya bisa tersenyum sambil menuntun kuda mereka menjauh dari kota tersebut. Dia mendengarkan berbagai celotehan tuannya yang tidak putus-putus. Tidak biasanya tuan mereka jadi cerewet seperti ini, apakah akibat potong rambut?
Rambut indah sepanjang pinggul itu dipotong sebahu, seolah sang empunya tak sayang sama sekali. Izuminokami bahkan berkali-kali menyombongkan rambut indahnya, enggan memotong. Kogitsunemaru juga mencintai rambut (atau bulu?) yang lembut dengan sepenuh hati.
Yamanbagiri menghentikan perjalanan mereka, ia merogoh sesuatu dari dalam kerah bajunya.
"Ini untukmu, Tuan." Ia memasangkan hiasan rambut—yang terbuat dari bulu burung dan buah blueberry—pada Rei.
"Itu cantik, sama seperti hati Anda. Terimakasih telah memperhatikan kami begitu banyak, telah merawat kami selama ini."
Rei tersipu, aku berkata bahwa apa yang ia lakukan adalah hal biasa. Mereka pun kembali ke honmaru, bersiap menyongsong hari berikutnya.
.
.
.
.
Huhuhuhu, maaf sekali karena aku very slow update—sampe kayaknya gaada lagi yang tertarik baca ini fanfic. Di kepung oleh tugas (dan fandom baru) memang membuat jantung dagdigdug seerr (づ ̄ ³ ̄)づBut, I always love Touken Ranbu!
Thanks for votmen, see ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Saniwa to Honmaru no Monogatari
FanfictionJangan lupa vote ya! X3 Ini adalah kisah sang saniwa yang harus merelakan masa remajanya untuk mengurusi lelaki-lelaki pengangguran dan menggali tanah mencari harta karun demi membayar pajak serta memenuhi kebutuhan tidak penting para toudan :'3