Part 01

1.1K 64 6
                                    

Maafkan aku atas segala kekurangan :') *bungkukkan badan* ini dibuat berdasarkan kegabutan semata *slap*

Typo dan lain-lain mohon diampuni. Ini fic pertama di fandom TkRb yang saya publish.

Touken Ranbu Fanfiction
~Honmaru no Monogatari~
.
Disclaimer : DMM and Nitro+
Genre : Slice of life, humor, fiksi penggemar, sho-ai nyelip dikit
.
**cerita murni no plagiat**











Gadis itu, sang saniwa, bangun lebih pagi hari ini. Bergegas ia turun dan menuju pemandian khusus miliknya di samping pemandian para toudan.
Hari ia akan kembali sekolah setelah sekian hari absen, padahal baru seminggu tercatat sejak ia pertama kali menginjakkan kaki kembali di sekolah, dan ketidak hadiran mewarnai absensinya.

Ah, masa bodoh. Toh, belum tentu aku akan kuliah. Bisa jadi sisa hidupku dihabiskan dengan mengurusi laki-laki pengangguran. Begitu pikirnya, jadi sekolah hanyalah sebuah kedok agar ia bisa tetap hidup sebagai manusia normal.

Apakah menurutmu tinggal bersama berpuluh lelaki-tampan-penggangguran personifikasi dari pedang zaman dahulu, adalah sebuah kehidupan normal?

Ia yakin, tidak ada gadis yang rela masa remajanya direnggut oleh hal semacam ini!

Lalu kenapa gadis yang biasa dipanggil Rei ini malah terjebak? Semua berasal dari kekuatan spiritualnya yang tidak sengaja terpancar ketika ia bunuh diri dengan ditabrak kereta.

Dan shiro-hime titisan dewa tersebut menemukannya dilintas zaman. Tanpa pelatihan, tanpa pengetahuan, berbekal kekuatan spiritual tak terbatas, Rei menjalani takdirnya sebagai saniwa.

Ah, Hasebe dan Shokudaikiri belum ada yang bangun. Wajar saja, masih jam enam. Ah~ aku lapar...

Rei mengobrak-abrik dapur tradisional itu. Tidak tradisional amat sih, setidaknya kitchen set dan bar sudah ada. Beberapa perapian dan oven zaman dulu memang menjadi ciri dapur ini. Bar pun hanya berfungsi sebagai meja untuk keperluan memasak, mana ada ceritanya bar di benteng ini penuh dengan berbagai gelas cantik dan aneka cokctail.

Ayolah, semua orang disini jauh lebih tua dan kuno dari sang aruji sendiri, untuk apa bermewah-mewah?

Komputer di kamar Awataguchi bahkan hanya dipakai oleh Hakata yang mengurus saham, yang lain lebih suka bermain. Tidak seperti kids jaman now yang supel di sosmed, tapi kudet di dunia nyata.

Rei memasak satu-satunya makanan favoritnya, omelet yang dikombinasi dengan ratatouille. Jangan tanya rasanya, hanya ia yang tahu!
***
Rei kembali ke ruang kerjanya di sisi barat benteng, sengaja agak terpisah agar kegaduhan tidak manusiawi para toudan tidak mengganggu pekerjaan.

Manik shappire sebening lautan itu menjelajahi garis di peta hologram yang memenuhi dinding timur ruangan tersebut. Titik-titik merah dan biru berkedip konstan, menandakan tidak ada yang pergerakan dari jikan shokogun.

Kemarin malam ia begadang demi mengutak-atik mesin waktu, agar waktu disini lebih lambat dari waktu ketika Rei berada di dunia asalnya.
Sama seperti sebagian besar toudan, meski telah bertekad berdamai dengan masa lalu, Rei masih saja gagal move on.

Rindu menggebu bertemu sang Ibu yang mencapnya ‘berandalan’ dan sudah pasti menganggapnya mati kala pemberitaan tentang genangan darah di pinggir rel kereta---tanpa mayat.

Bahkan sahabatnya sendiri juga mengira gadis ini telah pergi menyeberang sungai Sanzu. Yah, sulit dipercaya, temanmu yang menghilang mendadak enam bulan lalu muncul dengan rambut panjang sepinggang. Padahal terakhir kali kamu melihat rambutnya masih sebahu.
***
Ittekimasu!” Rei menaikkan resleting jaketnya ke leher, usai memasang sepatu. Lalu menekan tujuan khusunya, dan menghilang bersama pendar cahaya keemasan.

Saniwa mungkin tak memelurkan jam waktu untuk melintas zaman, tapi ia tak bisa kembali ke benteng dari sembarang tempat. Dan tempat datang-pulang dari abad 21 adalah kuil tua di bukit belakang sekolahnya ini. Jika kuil ini di hancur, maka ia harus mencari kordinat lain.

Tampak luar kuil ini sangat tua, lapuk, kotor dan tidak terawat. Tapi di dalam---karena telah dimodifikasi menggunakan kekuatan spesial saniwa---terlihat bersih dan kokoh.
Pada altar kuil terdapat sebuah pohon bonsai yang berdaun merah muda, mengikuti musim. Juga terdapat lonceng yang menjuntai dari atap, serta sewadah air suci. Semua untuk menangkal datangnya setan jenis apapun yang kemungkinan besar dapat mengganggu kestabilan energi spiritual yang ditinggalkan Rei di sini.

Baru saja membuka pintu, rintik hujan musim semi telah menyambut penglihatan. Menoleh ke kanan-kiri, sudah ada dua sahabatnya yang menunggu entah dari jam berapa.

“Apakah aku lama?” tanya Rei seraya terkekeh tipis.

Gadis pirang twintail yang rambutnya di-roll itu mengangkat bahu, “Tidak juga. Aku terkejut saat kau bilang akan datang jam tujuh---ini masih sangat pagi tahu.”

“Oh, maafkan aku kalau begitu. Siapa suruh menungguku di sini, mana hujan lagi.”

“Itu karena kamu tidak mengizinkan kami masuk ke dalam.” Yang berambut merah serupa apel angkat suara.

Rei meringis minta maaf.

“Setidaknya kamu harus memperbaiki bagian depan kuil ini juga, meski kuilnya kecil.” Chiisa---gadis berdarah penyihir ini dengan rambut pendek merah mencolok yang diikat satu---menyarankan.

“Itu akan membuat orang-orang bertanya mengapa kuil tua reyot tak bertuan ini terlihat Bagus dalam sekejap.” Sahut Rei.

Who knows? Akan muncul pertanyaan sejenis, ‘siluman mana yang mendiami kuil lapuk ini?’ kau mau teman kita yang sering bolos ini dikira siluman, Chiisa?” Yuki, gadis pirang itu menimpali.

Melihat mulut Yuki yang mulai mencerocos, Rei memilih mengajak kedua sahabatnya itu berburu sarapan sebelum masuk kelas. Dan mereka melewati hujan di bawah payung transparan.

Bagi Rei, seluruh masa lalunya akan diperbaiki di sini. Ia akan mengukir sejarah dirinya di zaman ini dengan lebih indah, bukan lagi dengan gelar dan bayang-bayang ‘preman wanita jalanan’ melekat di belakang namanya.[]

Saniwa to Honmaru no MonogatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang