Part 06 : Penasaran

459 44 0
                                    

Terlalu banyak typo, pls. I'm so tired. :"(
.
Yuki POV

Dulu... Dulu aku juga begitu.

Hina, penuh noda, dan bekas luka. Saling tinju di gang-gang gelap Shinjuku, berlarian kocar-kacir saat pertigas keamaan datang. Beruntung tak pernah sekalipun tertangkap.

Kami hanya berdua.

Dari kecil hingga sekarang, itu satu-satunya hal kuyakini. Sejauh apapun jarak membentang antara aku dan Rei, kami akan selalu terhubung. Bahkan jika salah satu dari kami telah menapaki tepian sungai Sanzu.

Aku dibesarkan di sebuah panti asuhan, diperlakukan layaknya budak. Dipukuli oleh pengasuh, hanya karena berkelahi dengan anak lelaki. Mereka menggangguku, dan aku hanya ingin membalasnya.

Berstatus veteran hingga SMP di panti membuatku malu. Jika tak mengingat tak ada tempat berteduh sehangat panti, aku pasti kabur. Di dunia ini, tidak ada orang yang benar-benar baik. Aku dan Rei adalah produk gagal yang terseok masa.

Menjadi preman jalanan, melayangkan tinju ke perut dan wajah orang yang dua kali lipat besarnya. Kami berdua bisa saja mati kapan saja.

Tapi takdir memang selucu itu, mengombang-ambingkan perasaan seseorang, lalu menghempaskan ke ceruk laut kepedihan terdalam. Dan hari itu datang juga, saat air mata yang tertahan lama dalam kelenjar, meleleh begitu saja bagai air terjun Niagara.

Tak berhenti, layaknya hujan asam yang mengguyur menggersangkan hati. Padahal aku bahagia, padahal hari itu aku tersenyum lebar untuk pertama kalinya.

Padahal kami berdua memiliki peluang hidup yang lebih baik.

Tapi Rei sudah berputus asa, memilih memeluk kegetiran hidup dalam satu tabrakan cepat. Meninggalkan aku yang terpaku, jiwaku melayang berusaha menggapai namamu yang terserak di langit.

Di hari itu, tepat sebulan perjuangan seorang pria muda perlente yang berusaha mengadopsimu, aku akhirnya memiliki rumah. Dan aku bisa mengajakmu ikut serta.

Lepas dari segala belenggu kebejatan pria pemabuk yang melunasi hutang kalian. Lepas dari pengharapan kasih sayang Ibumu yang telah lama sirna.

Kita ini apa? Sampah masyarakat, katanya.

Senyum kiya sehari-hari adalah topeng kegigihan dalam penghinaan cecar manusia tak tahu rasa. Mereka di luar sana tidak akan mengerti, betapa kita telah berjuang keras melepaskan segala himpitan di dada.

Tidak ada yang menolong kita, hingga detik ini. Kadang rumah pun tak selalu cukup untuk mengembalikan kepingan hati yang mengabu.

Lulus SMP. Aku pun menjajaki sekolah elit bertaraf internasional yang megah. Seragamnya halus, rompi kaosnya tidak panas. Roknya berlipit rapi, jatuh dengan pas di paha. Melingkar dengan nyaman di pinggang.

Tapi sayang, di sini pun lebih banyak manusia bertopeng kekayaan dan kecantikan yang memuakkan. Tidak ada yang dapat menggantikanmu, Rei.

Mengapa... Kau meninggalkanku sih?

Bulan pertama ku lalui dengan kesarkatisan tingkat dewa. Menolak berinteraksi dengan siapapun. Tak ada yang cukup baik di sini, pikirku.

Hingga fakta bahwa anak orang kaya itu selalu dijadikan sasaran penculikan. Seni berkelahiku ternyatabtak cukup untuk membuat enam orang berbadan besar tumbang. Level mereka berbeda, yang ada diriku babak belur. Astaga, tulangku bergeser di lengan.

Ketakutan menggelayutiku, meresap hingga akar saraf, menghujam kuat ke hati. Kupikir... Kupikir aku akan berakhir menyedihkan, sama seperti anak kaya manja lainnya.

Saniwa to Honmaru no MonogatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang