Part 15 : Bertemu

348 35 2
                                    

"Oya, Rei, aku melihat adikmu beberapa hari yang lalu."

Deg!

Rei membeku seketika, tangannya-yang tengah menyusun gulungan perkamen di rak-menggantung di udara. "Apa?"

"Aku dan Yuki melihatnya ketika kami pulang dari pemotretan di taman Yuzuyu, tak kusangka adikmu bisa bermain sejauh itu. Bukankah rumah ibumu ada di distrik selatan?"

Rei mengangguk, lalu buru-buru berbicara karena Chiisa tak bisa melihatnya, "Ya."

"Apa kau tidak terpikir untuk bertemu dengan adikmu? Dengan jarak sejauh itu dari rumah ibumu, aku yakin akan aman saja."

"Siapa menjamin? Pria gila itu bisa saja berkeliaran di sekitar Sora. Aku tidak mau mengambil resiko tertangkap olehnya masih hidup dan sehat."

Sedangkan Hachisuka yang bertugas jadi secretary sword hari ini hanya memilih diam sembari terus menyusun buku-buku tebal ke rak. Uchi cantik itu tahu benar ada yang tidak beres dengan kehidupan di dunia manusia sana.

"Setidaknya sampaikan rindu padanya, perkenalkan bahwa kau adalah kakak yang tak pernah Sora lihat sejak usia lima tahun." desak Chiisa di ujung sambungan telepon.

Rei menggeleng, "Aku tidak mau mengambil resiko," dilepasnya satu handset di telinga.

"Kenapa?" Setelah sekian detik bergeming, Chiisa bertanya jua.

"Aku sudah melupakan dan memutus hubunganku dengan masa lalu. Meskipun bersama kalian adalah sebuah resiko juga."

Diam-diam Hachisuka tersentak. Di saat pedang lain merindu tuan lamanya yang telah tiada, sang saniwa malah memilih meninggalkan seseorang yang jelas-jelas hidup.

"Kuatlah Rei, kau akan baik-baik saja. Jika ada masalah di sana, panggil kami. Aku dan Yuki akan mencoba menyeberang. Elias dan aku sudah mengembangkan mantra untuk menembus dimensi."

Rei bahagia mendengar kemajuan sihir Chiisa, "Syukurlah, kau hebat! Tapi jangan paksakan dirimu, mengingat daya tahan tubuhmu lemah begitu."

Chiisa terkekeh, "Baik!" Usai mengucapkan salam perpisahan, sambungan di akhiri.

Setelah makan malam, lagi-lagi para tantou memonopoli sang tuan. Menagih janji untuk bercerita, beberapa toudan yang lebih besar tertarik dan mendekat. Turut mendesak Rei agar membuka mulut.

"Baiklah, baiklah... Tapi mungkin cerita ini agak sedih?" ucapnya.

"Uwww, tidak apa-apa Shukun! Kami mau mendengarkan cerita apa saja, bukankah begitu?" sahut Akita.

Tantou-tantou bersorak menyetujui.

"Oke, dengarkan baik-baik ya." Rei tersenyum lembut, "tau tidak kenapa ada bulan di langit?"

Bocah-bocah lucu itu menggeleng. Di sayap kiri pedang-pedang tua hanya terkekeh menyimak dongeng sang tuan.

"Padahal bulan begitu indah, namun terlihat begitu kesepian? Karena dulu ia mempunyai kekasih."

"Mikahime dan Kogiboshi dulunya adalah sepasang kekasih, mereka romantis sekali. Padahal mereka berbeda dunia namun saling mencintai jiwa raga. Hubungan asmara mereka menimbulkan banyak kecemburuan dan keseimbangan alam pun terganggu."

Mikazuki dan Kogitsunemaru tersentak, sedangkan para dedek tantou mulai berkaca-kaca.

"Akhirnya para dewa memutuskan memisahkan mereka demi kebaikan dunia. Mikahime ditahan di langit, dan setahun sekali ketika purnama datang, ia akan turun kebumi dan memadu kasih yang telah lama tertahan."

Midare yang pertama kali menitikkan air mata, "HUWEEE KOK GITU SIH? KAN KASIHAN-"

Sepertinya trap satu ini sangat baperan, kelewat menghayati.

Saya entah kenapa sepertinya menahan tangis sekuat tenaga, "A-apa mereka bahagia? Aku tidak begitu mengerti, tapi jika kau berpisah dari orang yang kau sayangi bukankah menyakitkan."

Rei mengelus kepala bungsu Samonji tersebut, "Menurutmu?"

Sementara tantou lainnya merengek entah apa, Mikazuki dan Kogitsunemaru hanya tersenyum kecut. Mungkin benar, itulah alasan mengapa Inari-kami mengambil Kogitsune dahulu kala.

Waktu itu... Mereka tidak dapat bersatu.

***

Rei melihatnya di sana, termenung sendirian di atas ayunan. Bermuram durja entah mengapa, dengan lutut yang membiru.

Gigi gadis itu bergemeletuk menahan geram, ini semua pasti kelakuan pria biadab tersebut! Ayah tirinya yang kasar.

Pelan, didekatinya bocah kecil itu. Masih SD kelas empat, setinggi Osayo. "Hai, apa kabar adik kecil?"

Bocah itu bergeming, enggan bersuara. "Ng.. Ka-kakak siapa?"

"Seseorang yang pernah kenal kamu." Rei menekan sesak di dadanya, "lutut kamu luka ya? Sini kuobati."

Bocah itu tampak panik sekali. "Eeeh-aku ga mau! Ga usah!"

"Kau takut pada orang asing? Apakah aku tampak seperti orang asing?" Rei memegang pipi adiknya itu. Mengalirkan energi positif, sebab adiknya sampai gemetaran.

"Aku tidak akan melukaimu jadi tenang saja." Rei mengobati memar pada lutut dan lengan adiknya, setengah mengutuk dalam hati.

Usai mengobati adiknya, Rei harus pulang karena hari mulai petang. "Aku ada sesuatu untukmu. Ambillah, itu akan menjagamu. Selalu bawa benda itu dan simpan baik-baik." Ia menyodorkan sebuah omamori hijau bersulam benang emas.

"O... Omamori?"

Rei mengangguk.

"Terimakasih kak. Akan ku simpan baik-baik. Ano nee... Apakah kita akan bertemu lagi?"

"Kurasa kita akan bertemu lagi adik kecil. "Matta nee~" Rei melambaikan tangannya dengan ulun hati berdenyut nyeri.

Ia sudah sekuat tenaga menahan diri agar tidak memeluk adik satu-satunya tersebut. Terlebih melihat kondisi adiknya-Rei sungguh ingin memboyong sang adik ke honmaru.

Yah, mungkin tidak sekarang ataupun nanti. Entah kapan keinginan tersebut dapat direalisasikan.[]
.
.
.
AAAAA MAAFKAN AKU YANG SANGAT LAMA BARU UPDATE

(;;-;;) *menangis*

Dari bulan-bulan terakhir banyak sekali masalah, maafkan kalau chapter ini sangat jelek dan banyak typo hiks (;∀ ;)

Kalau berkenan votmen ya gaes.

See ya next chapter!

Saniwa to Honmaru no MonogatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang