Kobaran itu menjilat panjang pilar-pilar indah kastil zaman dulu.
Meliuk, menari gemulai seraya mengolok pada genangan darah yang membisu di sekeliling mayat.
Menertawakan dalam gemeretak tulang, air mata yang hangus.
Banyak... Banyak jeritan terbungkam oleh masa pada waktu itu.***
Ichigo tidak mengerti dan tidak bisa menghentikan apa yang ia lakukan sekarang. Dikenal sebagai sosok yang sopan santun dan ramah, bukan pria lancang yang seenak jidat memeluk erat seorang wanita.
Memeluk aruji-nya yang sedang bersenandung tentang kenangan yang telah lama pudar dalam kabut asap hitam.
Mengelus punggung sang mantan Tenka Hitofuri----mantan surga semua pedang legendaris Jepang---tepat di mana luka abadi itu terukir. Bukti bahwa sayapnya telah rontok.
"Sebagai pedang, saya sudah lama mati, Aruji-sama." isak Ichi.
Sebagai yang paling tua dan wajib mengayomi adik-adiknya, Ichi berusaha tetap tenang dan kalem. Agar dapat menjadi sosok penyayang dan ramah membuat tachi tampan tersebut harus memendam perasaan sedihnya.
Meski bukan hanya dia satu-satunya yang berputar dalam tragedi dan darah, namun dadanya tetaplah sesak. Ada perasaan menyengat tiap kali api-api dan bayangan mayat bergelimpangan itu melintas.
Sayapnya... Sayap indahnya telah patah, koyak, hancur oleh keberingasan tangan-tangan panas. Hanya karena dianggap berharga dan langka, ia ditempa ulang bersama Namazuo. Adiknya itu bahkan terkadang bermimpi buruk seperti yang dialami Honebami.
Bagaimanapun, Ichi takut... Jika suatu saat nanti sang tuan akan melupakannya karena ia kalah indah dengan pedang lain. Karena kobaran itu telah merontokkan keindahannya.
"Bekas luka itu memang abadi, Ichi. Dia menolak dilupakan, itu adalah bukti bahwa hanya kau satu-satunya Ichigo Hitofuri. Kau pernah menjadi legenda yang hanya dapat dimiliki sekali seumur hidup oleh Toyotomi."
Ucapan sang saniwa menghentak Ichi.
"Dengarkan aku, tak peduli kau pernah terbakar dan tak indah lagi dalam definisimu, kau penting bagiku. Aku menyayangimu. Kau ada disini karena aku membutuhkanmu."
Ichi terus sesegukan tiap kali Rei mengusap surai biru toska dan punggung ringkihnya.
"Bagaimana caranya agar saya dapat melupakan kejadian itu? Saya begitu tersiksa, Aruji."
Rei menghela napas, "Melupakan itu hal yang mustahil dilakukan oleh diri sendiri, Ichi. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha tidak memikirkannya."
"Namazuo dan Honebami memang amnesia bukan karena mereka menginginkannya, Ichi. Yang namanya ingatan itu berharga, semenyakitkan apapun itu. Karena ingatan adalah bukti bahwa kita pernah ada di dunia."
Ichi masih menangis.
"Itu semua wajar, aku takkan menyalahkanmu memiliki kekhawatiran seperti itu. Kau boleh mengeluh di hadapanku sesukamu, aku akan selalu mendengarkan. Jadi jangan merasa bahwa aku tidak membutuhkan dirimu, kau tidak sendirian Ichi. Berhenti menganggap dirimu rendah."
Ichi sesegukan, meluapkan segala kesedihan yang sejak berabad lalu ia timbun dalam kalbu.
"Apakah Anda pernah merasa seperti ini juga? Seolah Anda begitu memahami isi hati saya." ucapnya.
Rei terkekeh lirih, "Kau tak perlu tahu. Aku sedang tidak ingin mengingat masa laluku. Tapi tanpa masa lalu tersebut, aku bukanlah aku."
Kemudian Rei bersenandung, menyanyikan bait-bait indah tentang sayap malaikat yang patah. Tentang tengu yang tak dapat lagi keluar dari hutan keputus asaan. Tentang bayi-bayi penyu yang harus mati sebelum menyelam ke lautan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saniwa to Honmaru no Monogatari
FanfictionJangan lupa vote ya! X3 Ini adalah kisah sang saniwa yang harus merelakan masa remajanya untuk mengurusi lelaki-lelaki pengangguran dan menggali tanah mencari harta karun demi membayar pajak serta memenuhi kebutuhan tidak penting para toudan :'3