Yuki merengut sebal dengan bibir mengerucut sekian senti. Chiisa mengembungkan pipi, tanda kesal.
"Katamu kau akan masuk sekolah dua minggu penuh!" sembur Yuki.
"Kami tidak menanyakan apapun pagi tadi karena kami pikir kau akan menjelaskan ingkar janjimu itu. Padahal kami sangat menantikan bisa bersama selama dua minggu penuh, lalu kau malah bolos kemarin." timpal Chiisa, kecewa.
"Aku sudah berusaha menahannya dari dulu, kukira... Kukira kami ini penting. Tapi kau bolos tanpa pemberitahuan apapun! Dihubungi pun tak menyahut!"
Rei diam, memilih mendengarkan luapan emosi sahabat-sahabatnya daripada mengelak. Mereka benar, tapi bukan berarti mereka tak penting.
"Dan dirimu malah masuk ke sekolah dengan luka-luka! Jika ada masalah kenapa tak minta bantuan kami saja? Selama ini ada apa gerangan?"
"Kemudian saat kupikir kau menjawab teleponku, yang keluar malah suara laki-laki tidak dikenal!" Yuki mengacak poni indahnya frustasi, "SELAMA INI KAMU TINGGAL DI MANA SIH?"
Lima detik berlalu, dan Yuki tak menyemburkan kata-kata lagi. Sudah habiskah?
"Sudah?" tanya Rei. "Aku tidak akan membantah, wajar jika kalian merasa begitu karena aku tidak menceritakan apapun."
"Kalau begitu ceritakan!" desak Yuki.
"Memangnya kau akan percaya jika tak ada buktinya? Sama seperti kau mempercayai kekuatan sihir Chiisa." Gadis itu tersenyum kecut.
"Aku akan berusaha mempercayainya, tapi aku menunggu bukti." sahut Chiisa cepat, "lebih baik kau ceritakan daripada membuat anak ini gila."
Maksudnya gandis cantik berambut pirang di sebelahnya.
Rei menghela napas, "Aku tinggal di tempat yang disebut honmaru dan semua yang tinggal di sana---kira-kira lima puluh tujuh orang---semuanya laki-laki kecuali aku. Wajar saja jika kau meneleponku yang mengangkat adalah laki-laki. Aku terlalu sibuk dengan hal lain."
"Terlalu sibuk katamu, hah?!" ketus Yuki. Chiisa buru-buru mencubit paha mulus gadis blonde tersebut.
"Aku bekerja, mengurus dokumen yang menumpuk, memeriksa perkamen-perkamen tua, membuat strategi dan perkiraan datangnya musuh, mengelola keuangan, duduk seharian di kursi dan kadang begadang semalaman sampai rasanya seluruh tulangku berdisfungsi." ujar Rei panjang lebar.
Yuki dan Chiisa mengernyit, "Pekerjaan apa itu? Memangnya kau jadi jenderal pasukan militer apa?"
"Yuki... Aku tahu kau masuk militer demi menggantikan kakakmu dari kewajiban tersebut, tapi ini berbeda. Aku mengurusi puluhan pria jomblo pengangguran yang sudah lewat batas umur!"
"Jadi intinya?" Chiisa mulai gemas sendiri.
"Aku ini disebut sebagai saniwa dan membangkitkan pedang-pedang historis menjadi manusia yang disebut touken danshi. Tugas kami menumpas pasukan pengubah sejarah yang ingin merevisi alur sejarah. Misal mengagalkan kejadian Honnoji."
Yuki tertawa terbahak-bahak sampai berguling di lantai. Chiisa hanya membatu, proses loading-nya lemot.
Sudah kuduga mereka akan tertawa, apa lebih baik tidak usah kulanjutkan ya? Rei mulai pusing sendiri.
"Lalu luka-luka memar di badanmu itu? Aku berpikir jika jawabanmu barusan itu ngaco, maka opsi lain kau bekerja sebagai PSK." kata Chiisa, masih tidak puas.
Yuki terdiam seketika.
"Itu karena aku ikut bertarung bersama mereka di daerah yang baru, dan kami tak mempunyai info yang akurat mengenai area tersebut. Menang sih, tapi luka-luka begini." jawab Rei.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saniwa to Honmaru no Monogatari
FanfictionJangan lupa vote ya! X3 Ini adalah kisah sang saniwa yang harus merelakan masa remajanya untuk mengurusi lelaki-lelaki pengangguran dan menggali tanah mencari harta karun demi membayar pajak serta memenuhi kebutuhan tidak penting para toudan :'3