Chapter 22 : Almost Done..

26 4 0
                                    

Jevin menelfonku siang tadi dan mengatakan dia sedang di Indonesia. Sedikit heran mendengar suaranya yang agak serak, mungkin sedang pilek. Atau sudah enam bulan terakhir tak kudengar kabar dari Jevin. Karena sibuk penelitian dan menyusun tesisnya, aku pun sibuk dengan hal yang sama. Dia menelfonku hanya memberitahukan dia sedang di rumah, entah apa urusannya pergi ke Indonesia, dia tidak menjelaskan. Dia menutup telfon begitu aku mengatakan aku baik saja disini. Aku merindukan dia, sudah jutaan kali kerinduan ini muncul kepermukaan tanpa tahu arah pasti kerinduan ini.

Sera setiap dua minggu sekali mengirimkanku e-mail, menceritakan kehidupan barunya bersama Feri kakaknya Aldi. Aku disini berusaha untuk tidak kesepian dengan bersibuk-sibuk bersama penelitian di laboratorium dan di lapangan. Aku juga sedikit terbebani karena penelitian ini agak membingungkan. Sedikit kusesali dengan metode penelitian yang kuambil, menyulitkanku dipertengahan seperti ini.

Aneh mendengar kabar Jevin hari ini, akupun masih betanya-tanya. Historisgramnya cukup banyak hari ini, dan sedang kutonton karena dia memberitahuku tadi. Benar-benar, ngapain dia balik ke Indonesia? Apa penelitiannya udah selesai dan dia pulang liburan? Kenapa nggak ke Beijing aja? Dia nggak kangen aku apa? Eh? PEDE benar.. hahaha.

Temanku hanya Sera disini, semenjak dia memutuskan untuk ke Indonesia. Aku kehilangan teman, hanya beberapa teman di laboratorium saja yang kadang bisa kuajak bicara, tidak se-asyik dengan Sera. Seharusnya gadis itu tahu aku kesepian disini, kenapa nggak balik ke Beijing aja sih? Hidup disini aja. Apa yang kupikirkan ini benar-benar berharap lebih, nanti juga selesai kuliah aku bakalan balik ke Indonesia, dan Sera juga bakalan disini kan?

Aku kembali menonton historisgram Jevin. Dia menandaiku disebuah historisgramnya. Kutoton sejenak.

"Buat Ell yang lagi di Beijing, jangan iri aku udah balik ke Indo duluan.. see you!" seruannya di dalam videonya. Dia sedang berada di taman kota bersama teman kuliah yang lain, kuyakini itu Hadi dan Fikri.

Dia bersenang-senang ya disana, mungkin penelitiannya sudah selesai. Cepat sekali, ingin kutanyakan langsung padanya. Tapi sepertinya dia sedang jalan-jalan sekarang. Kubuka kotak berukuran sedang berwarna cokelat di hadapanku. Melihatnya saja membuatku teringat dengan Jevin. Tabungan berwarna salmon itu masih saja kusimpan di dalam kotak. Dan tidak pernah kuisi lagi sejak sepucuk kertas note masuk ke dalamnya. Sudah lama sekali, namun warna salmon itu masih indah semenjak pertama diberikan Jevin padaku.

Aku berharap akan segera menyelesaikan penelitianku, dan menyelesaikan S2-ku secepatnya. Sudah dua tahun kuhabiskan waktuku disini, tinggal setengah tahun lagi. Aku merindukan Mama dan Papa dan Daniel juga, kami hanya bisa saling berkomunikasi lewat video call dan kadang hanya voice note saja. Sama halnya sepertiku dan Jevin, jarang berkomunikasi. Jika memang sudah saatnya berkomunikasi, barulah nama Jevin tertera pada layar ponselku.

-oOo-

Minggu ini adalah minggu kedua, aku mendatangi dosen pembimbing lapanganku. Kurasa penelitian ini sudah selesai, namun Prof Choi menggeleng melihat draft yang ada di tangannya kini. Draft itu sudah kuselesaikan seminggu lalu, dan penelitian pun sudah berakhir minggu lalu, tapi dia baru membacanya tadi malam dan menelfonku pagi-pagi tadi untuk menemuinya siang ini.

Disinilah aku berakhir, Prof Choi membalik kasar kertas di hadapanku. Kenapa pria yang sudah beruban ini tidak pernah menghargai pekerjaan orang lain, dia selalu saja kasar membalik kertas-kertas yang ada dihadapannya dengan tatapan melotot melihat kertas itu dan lipatan tajam dikeningnya. Sungguh membuat hati runtuh melihat ekspresinya itu setiap kali menunjukkan hasil pekerjaanku padanya.

"Ms Ellisa. Kamu analisis kembali hasilnya, ini tidak sesuai dengan yang saya lihat di lab saat kamu analisis dengan mesin analisa modern itu. Perhatikan dengan baik, dan perbaiki kembali draft ini. Saya tunggu besok." Prof Choi menutup draftku.

Aku memberi hormat padanya begitu kuterima draft berwarna hijau ini. Dan segera meninggalkan ruangannya. Kubuka kembali draftku yang kutinggalkan seminggu lalu di lokernya, dia mencoret beberapa kata dan mengubahnya. Aku harus segera menyelesaikan tesis ini, aku akan ke lab siang ini melihat dimana kesalahanku yang dimaksudkan Prof Choi.

Ruangan laboratorium siang ini lengang, kemana orang-orang, apa memang tidak ada yang berkegiatan disini hari ini? Tiba-tiba entah darimana June muncul begitu saja di depanku. Dia mahasiswa juga sepertiku, tapi tidak jelas apa penelitiaannya. Dia sudah lama di kampus ini dariku, mungkin ini tahun ke-4nya disini. Dia melihatku sedari tadi semenjak aku mengeluarkan sampel penelitianku dari dalam mesin titanium ini.

"Bukannya minggu lalu sudah selesai?" tanyanya terdengar kaku. Wajahnya khas orang korea itu membuatku hanya bisa tersenyum lesu, "Ada yang kurang, harus diselesaikan." balasku, lalu menaruh tabung berukuran sejempol-ku ke dalam pengukur kadar unsur, "Prof Choi menyulitkanmu? dia itu pembimbingku juga." katanya, "Benarkah? Dia menyulitkanmu?" kutanya, "Tidak juga, aku yang menyulitkan dia. Penelitianku tidak dimengerti olehnya, jadi sampai sekarang aku masih harus meyakinkan dia dengan penelitianku ini." katanya menjelaskan.

Aku hanya menggeleng meresponsnya. Dia kemudian membantuku menyelesaikan pengamatan dan perhitungaku selama dua jam ini. Aku meyelesaikan perhitunganku begitupun dia langsung pamit meninggalkanku di lab ini seorang diri. Ponselku bergetar di dalam saku jaketku, kulihat notifikasi yang tertera di layar ponselku. Seperti biasanya Sera mengirimkan e-mail padaku, kumatikan layar ponsel untuk sesaat, segera kubereskan pekerjaanku ini.

Sera mengabariku kabar baik yang selalu sama, tak lupa dia mengirimkan resep kue padaku. Katanya agar aku bisa mengisi waktu luangku sendiri saat weekend. Kubalas e-mailnya, mengatakan aku baik saja dan akan selesai dengan tesisku beberapa minggu lagi. Dia pasti terfikirkan kuliahnya yang tak ia lanjutkan lagi karena lebih memilih bersama kekasihnya, eh suaminyaa. Pesanku telah terkirim, kini aku harus pulang dan membersihkan diri. Hari semakin sore dan cuacanya semakin dingin, karena ini musim dingin dan ada banyak tumpukan salju di sepanjang jalanan.

Terkadang licin dan membuatku harus berjalan kaki, jika ingin ke mini market, dan naik bus jika akan kekampus. Aku belum berani mengendarai mobil sendiri jika sudah winter begini, ada banyak berita kecelakaan pada musim dingin bersalju. Aku tidak ingin kejadian seperti itu menimpaku hanya karena malas menyeka salju-salju yang kadang menempel dan kemudian meleleh dikeningku kini.

Sesaat terfikirkan Jevin, dia pernah berkata ingin menikmati musim salju bersamaku. Dia juga tidak bisa menikmati salju di Bangkok, ada-ada saja. Dia tahu kalau iklim disana kurang lebih seperti di Indonesia. Tapi kalau dia kini sedang menikmati liburannya, kenapa dia tak kemari? Berkali-kali hatiku ini meminta dia peka untuk mendatangiku kemari. Sayangnya, tak pernah terdengar kicauan hatiku ini ke telinga Jevin maupun kehatinya. Apa lagi yang kufikirkan ini, dia tidak akan pernah mengetahuinya bodoh!

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang