Chapter 38 : The End.

28 3 0
                                    

Pagi tadi Jevin datang ke rumah, berniat bertamu atau hanya ingin menyenangkan perasaanku, tidak tahu jelas. Aku meminta Bibi Inah berbohong sekali saja untuk pagi tadi. Mengatakan pada Jevin kalau aku sudah balik ke apartemenku. Pagi ini mataku masih bengkak, dan masih terasa ingin menangis. Malu jika dilihat oleh Jevin, apalagi perasaan kecewaku ini sudah meluap dengan sesukanya tadi malam. Malu sekali marah seperti semalam pada Jevin, aku tahu dia pasti heran karena sikapku yang tiba-tiba saja berubah karena hal yang mungkin saja tidak pernah ia sadari.

Tapi ya sudahlah.. aku hanya cukup harus menenangkan diriku kembali dan mencoba untuk melupakan kejadian kemarin dan akan meminta maaf pada Jevin nantinya, jika ada kesempatan. Mama menelfonku barusan menanyakan apakah aku baik-baik saja, aku tidak ingin mereka mengkhawatirkan aku disini, aku akan kembali besok lusa karena senin aku harus kembali turun kerja dan kembali menghadapati kehadiran sosok Jevin yang selalu duduk di bangku, tepat di sampingku. Daniel mengirimkan pesan agar aku tidak melakukan hal-hal aneh, lucu terkadang. Mereka begitu mendukung dan menyemangatiku selalu.

Aku kembali mengirimkan Sera e-mail. Kujelaskan sedetailnya apa yang terjadi kemarin, dan bertanya apa yang harus kulakukan setelah ini. Dia membacanya, kemudian dia terlihat membalas.

"I suggest you follow the wishes of your true heart. Do not make the wrong decision again. Good luck Elli.."

Sera memberi nasehat. Aku sebenarnya banyak belajar darinya, hubungannya dan Feri benar-benar sebuah keajaiban, karena sebuah cinta. Aku pun ingin begitu bagaimana bisa jika hanya aku yang memilikinya, kini malah menjadi sebuah penghalang besar untuk percaya dengan Jevin. Masih kupikirkan kejadian malam itu, dimana aku tidak percaya dengan pengakuan Jevin. Terasa seperti sebuah candaan untukku, membuatku frustasi.

Sera kembali mengirimkan pesan.

"I hope you are really happy with your decision Elli. I will always pray for you."

Dia ingin aku mengikuti kata hatiku dan ingin aku bahagia? Sebenarnya bahagia sekali sudah disisi Jevin selama ini, aku tidak meminta lebih darinya. Aku hanya ingin dia mengetahuinya tanpa kuberitahu, karena menurutku selama ini sikapku sudah mencerminkan kalau aku menyayangi dan mencintai dia. Tidak seharusnya aku memaksakan diri untuk mengatakan aku menyukai diakan? Aku hanya ingin dia tetap disisiku, jika bukan sebagai sesuatu yang lebih, sebagai sahabat sudah sangat cukup untukku.

Hari minggu sore ini, aku harus balik ke apartemen. Belum sempat kuinjak gas dibawah sana, Jevin mengetok kaca mobilku. Mengagetkan. Kuturunkan kaca mobil, dan berusaha melihatnya dengan tenang dengan senyuman manis yang biasa kutunjukkan padanya.

"Ell, mau kemana? Baru saja aku mau ke rumah.."

"Egh. Mau balik ke apartemen, kamu ngapain ke rumah aku?"

"Ini mau ngajakin kamu makan malam. Balik ke apartemen subuh aja yaa, sekalian ke kantor aja nanti."

Aku mengangguki Jevin. Kembali kuputar mobilku memasukkan ke halaman parkir di rumahku. Jevin menunggu di depan pagar. Segera kunaiki mobilnya. Kini kami sampai di kafe favorit yang sering kami datangi saat kuliah di S1 dulu. Tidak ada yang berubah, sama seperti terakhir kali kami berpisah di kafe ini sebelum menuju ke negeri seberang.

"Ell.." panggilnya lembut, kulihat dia, "Iyaa Jevv.."

Jevin terlihat aneh dengan gerakan kaku darinya. Dia menyembunyikan sesuatu ditangannya, dia mengapitnya erat dengan kedua tangannya. Apa itu? Dia kemudian membuka gumpalan tangannya.

"Ellisa Daniel. Aku Jevin Cristen memintamu untuk menerima cincin ini sebagai simbol rasa cintaku."

Aku tersentak. Jevin sedang melamarku atau sedang memintaku menjadi pacarnya? Kenapa dengan kafe ini, memutarkan lagu You Are So Beautiful milik Eddy Kim? Suasana menjadi romantis karenanya.

"Ell?" Jevin menepuk jemariku, "Egh Ehh.. aku minta maaf Jevv.. aku tidak bisa menerimanya." jawabku sekenanya.

Kening Jevin mengerut tajam. Aku bahkan tidak mengerti kenapa kamu menjadi seperti ini Jevin, aneh bagiku kamu seperti ini setelah pengakuanmu pada Mama waktu itu.

"Ohh yaa okee. Akan kucoba nanti."

Aku tertawa kecil melihat sikapnya, dia kembali meletakkan cincin cantik itu ke dalam kotak kecil berwarna gold. Dan menaruhnya kembali ke dalam kantung jaketnya.

"Tadinya mau kamu menerimanya.. kamu tahu, hal paling bodoh di dunia ini adalah mencintai sahabat sepertimu Ell.. tapi aku berterimakasih pada waktu yang membuatku selalu berada disisimu. Aku juga berterimakasih karena kamu lebih memilih menjadi sahabatku dari pada menjadi sesuatu yang lebih denganku. Bagaimana pun, aku bersyukur karena Tuhan mempertemukanku denganmu.. jika Tuhan berikan satu kesempatan lagi, aku mau meminta doaku selama ini dikabulkan.."

Jevin menatapku intens, tatapan tulusnya itu meluluhkan hatiku. Tembok besar dan tebal yang sempat kubangun runtuh antah berantah. Aku melihatnya dengan kagum, pria ini benar-benar kusukai dan dia membanggakan waktunya bersamaku. Begitu beruntungnya aku memiliki sahabat seperti dia. Tapi, bodoh! Aku sudah menolaknya, apa lagi sekarang, aku hanya bisa tersenyum lega dan penuh sayang untuknya. Setidaknya aku tidak merusak hubungan persahabatan kami ini sampai kapan pun juga.

"Aku bersyukur kamu yang menjadi sandaranku selama ini Jevin.. terimakasih telah menjadi sahabatku selama ini. Aku bangga bisa mengenalmu Jevv.."

Jevin tersenyum, dia terlihat melega. Aku juga lega karena sudah tahu seperti apa perasaan Jevin padaku. Kuakhiri perasaan ini dan cerita ini, dengan sampul persahabatan.

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang