Chapter 29 : Should I Say?

21 4 0
                                    

Makan malam bersama Jevin. Aku hanya memakai pakaian kasual dan memoles sedikit bedak di pipiku, menutupi mata bengkakku dengan consiler, memoles lipstik merah delima di bibirku. Sebelumnya Daniel ragu dengan penampilanku ini, sudahlah.. bagaimana lagi kututupi mata ini.

Jevin menghela nafasnya di depanku. Kenapa dengannya? Apa bulgogi panggang ini tidak enak? Enak kok! Dia memang melihatku heran sedari tadi melihatku memasuki pintu rumah makan ini. Aku tidak ingin menceritakan kenapa dengan penampilanku yang terbilang random ini. Matanya menatapku tanpa bisa kuartikan.

"Kamu tahu apa yang tidak kusuka?" Jevin bertanya setelah selesai makan.

Apa maksudnya? Aku menggeleng, kuangkat kedua alisku mengisyaratkan bertanya.

"Kalau kamu menutupi sesuatu."

Aku sontak kaget mendengarnya. Aku tidak menutupinya Jevv.. aku hanya tidak akan bercerita. Itu aja..

"Aku nggak nutupi apa-apa kok Jevv.. bener."

"Ell.. consiler itu mana bisa nutupi mata bengkakmu. Sama blush on dipipimu itu, mana bisa nutupi muka mu yang habis nangis. Kamu kenapa?"

Huh.. akhirnya dia tahu-kan.. Apa sih yang bisa kututupi darinya, dia sudah tahu aku. Kuceritakan yang terjadi di apartemen tadi, dia mendengarkan dengan serius. Lalu keningnya mengerut tajam setelah selesai kuceritakan. Helaan nafas kasar terdengar.

"Terus kenapa kamu nangis? Bukannya itu berita bagus? Mama kamu sudah nyiapain yang terbaik buat kamu."

Yaaa.. tapi. Aku mana bisa seperti itu, aku cuma menyukai kamu Jevv..

"Belum siap aja."

"Ohh.. udah bilang alasannya ke Mama kamu?"

Aku mengangguk.

"Sykurlah. Jangan buat Mama kamu kecewa."

"Iyaa tahu, tahu."

Jevin merespons seperti tadi, bisa membuktikan kalau dia memang mendukungku dalam hal apapun bukan? Harus bagaimana aku? Haruskah kubuktikan lagi pelukan itu? Ahh.. sudah lama sekali gagal ingin kubuktikan. Jika dirumah makan ini aku membuktikannya?

-oOo-

"Ell? Kenapa lagi kamu?" Jevin bertanya lembut.

Aku suka pertanyaan cemasnya ini. Kugelengkan kepalaku. Berusaha merasakan kehangatan.

"Ell?.." Jevin mengguncang pelan bahuku.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali, meyakinkan perasaan ini, kehangatan ini. Pelukan ini! Hampir lima menit kupeluk Jevin tepat di depan mobilnya, bodoh dengan orang-orang yang heran melihat kami saat lewat.

"Kamu baik aja?" sekali lagi suara berat nan lembut ini bertanya.

Aku mengangguk mantap, senang. Pelukan ini sangat kusukai. Pelukan ini sama! Sama sekali tidak berubah. Inikah yang harus aku pertahankan? Sesak di dadaku hilang sekejap. Kusimpan baik-baik kembali memori ini di kepalaku, kutenggelamkan lagi kepalaku pada dada bidang Jevin, dia kini pria dewasa sahabatku. Dia pria yang kusukai selama ini, dia yang harus aku pertahankan. Walau sebagai sahabat, untuk kesekian kalinya aku menyatakan, aku bahagia!

Jevin mengelus kepalaku dengan lembut.

"Udah tenang?" tanyanya.

Aku mengangguk.

"Yaa udah. Masuk mobil, kuantar pulang."

Dia membiarkanku masuk ke mobilnya dan memasang sabuk pengaman. Jantungku masih berdegub hebat, darahku mendadak mengalir deras. Kulihat Jevin sudah masuk dan siap menyetir mobilnya. Kami melaju menuju apartemenku, setiba di parkiran apartemen, di depan lift dia mengantarkanku. Kutahan lengan Jevin, apa yang ingin kukatakan? Aku tidak tahu, ingin kukatakan aku bahagia dengannya, rasanya konyol. Dia akan binggung bahagia darimana, karena cuma aku yang merasa bahagia disini.

Hufff... kutahan gugup nggak ketolongan ini. Dia menatapku heran dan aku masih mengenggam pergelangannya sampai lift yang terbuka semenit itu kembali tertutup dan naik kembali.

"Kenapa Ell? Hem?" dia tersenyum manis padaku. Mataku yang sengklek, apa memang dia tersenyum begitu?

"Aku-"

Kalau kukatakan aku menyukainya, apakah semuanya berubah?

"Aku-"

Kalau kukatakan aku menyukainya, aku takut semuanya berubah.

Jevin menanti perkataanku. Dia kini berdiri sempurna menghadapku. Nafasku betul-betul memburu. Kakiku bergetar, tak kuat berdiri. Kuyakini genggaman tanganku pada pergelangan tangan Jevin makin erat, aku menopang tubuhku dengan mengenggamnya. Kutelan salivaku. Kubuka mulutku ingin mengatakan yang sebenarnya, kembali lagi tubuhku dan Jevin bertemu dalam pelukan. Dia mengelus kepalaku, bibirku bungkam sedetik kemudian.

"Kalau nggak bisa dibilang. Nanti aja Ell.. aku bisa dengar kapan aja."

Dia menekan kembali tombol lift dibalik pelukan ini. Menunggu lift turun dia menyenderkan dagunya di bahu kananku.

"Kamu sudah paham, tapi nggak bisa bilang? Aku akan dengar kapanpun."

Ting! Lift terbuka.

Jevin menuntunku masuk ke lift. Kemudian dia berdiri di luar, aku tersenyum padanya. Dia mengangguk sambil tersenyum hangat padaku. Matanya intens menatapku hingga pintu lift tertutup, dan lift mengangkatku menuju lantai tiga. Menampakkan lobi apartemenku. Aku suka menghabiskan menit seperti tadi, berpelukan dengan Jevin. Dua kali! Dua kali! Aku memekik berjingkrak senang, persetan dengan CCTV di atas pintu apartemenku. Aku senang!

First Love, Maybe... [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang